Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sumbar Tidak Hanya "Abu" Semen Padang: Sebuah Catatan untuk Tanah Kelahiran Tercinta

31 Januari 2021   13:21 Diperbarui: 26 September 2021   23:26 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 “Sekelas Sumbar Propinsi yang kaya-raya, darat dan laut punya, seharusnya industri maritim dan pertanian berkembang pesat, tapi sayangnya hanya “abu" Semen Padang saja nan tampak oleh orang sana”.

Itulah copy-paste dari komentar saya di sebuah grup whatsapp (WA) yang saya ikuti. Tepatnya grup WA SMA kelas 1. Grup ini tadinya didisain hanya untuk sekedar tempat bercanda dan bernostalgia. Tetapi, berubah menjadi tempat diskusi yang cukup serius karena dibajak oleh beberapa orang saja, termasuk saya. Saya senang di grup ini. Diskusinya aktif. Anggotanya lumayan banyak. Sekelas semua. Tapi, hanya beberapa orang saja yang muncul. Diantaranya, ada yang selalu siap dijadikan lawan diskusi. Sorry, teman diskusilah tepatnya. Sering juga keadaan memanas, tapi tidak sampai lempar hape. #“smile”.

Jaman NOW, kami seperti berdiskusi tatap muka saja. Padahal posisi saling berjauhan. Saya tinggal di Depok. Pindah ke kota ini sejak lulus SMA. Saya diterima kuliah di kota ini. Ada teman saya yang jurnalis media elektronik. Tadinya dia bertugas di liputan istana. Tapi sekarang jadi kontributor dan tinggal di Bintan dan lagi merintis usaha perikanan. Komentarnya tajam dan provokatif. Saya pasti mengomentari setiap postingannya. Ada juga eksekutif di sebuah anak perusahaan besar di Jakarta, tapi selama pandemi Covid-19 ini lebih banyak di Padang. Sibuk urusin kafenya yang sudah punya nama. Ada juga dokter yang suaminya dokter juga. Aslinya dari Padang Panjang. Sekarang dia tinggal di Payakumbuh karena bertugasnya di kota itu. Munculnya di grup kadang-kadang saja. Atau, pas kalau ada yang “menyenggolnya”. Ada juga pengusaha bahan bangunan di Tangerang Selatan. Hobbinya masak. Suaminya ahli membuat mesin press bahan bangunan. Dia muncul kalau beres masak dan urus kebun kecilnya depan rumah. Ada juga pengusaha travel haji dan umrah. Tinggalnya di Jakarta. Selama pandemic ini, dia dan suaminya mengembangkan usaha lain di bidang makanan dan hiasan. Dijualnya online. Ada lagi dosen, kami memanggilnya “bu prof”. Sering muncul kalau sudah diserempet oleh teman kami yang jurnalis itu. Sering deh pokoknya. Masih ada beberapa lagi sebenarnya. Tapi, nantilah. Saya akan kenalkan mereka satu persatu di kesempatan lain.

Kembali ke laptop! Mengenai komentar saya di grup WA tadi. Entah kenapa, saya merasa tertantang sendiri dengan apa yang sudah saya komentari di grup itu. Setidaknya ingin saya beresin sampai menjadi satu artikel opini. Ini khusus saya peruntukkan ke pembaca di kampung halaman tercinta. Sebagai orang rantau yang dibesarkan di Padang, tentu saya mempunyai ikatan batin yang kuat dengan tanah kelahiran saya itu. Wajar dong kalau saya membanggakan segala hal yang dipunyai dan dicapai oleh Sumbar. Tidak peduli siapa gubernurnya dan apa partainya. Panas kalau kemajuan Sumbar kalah dibanding propinsi lain. Apalagi dengan sesama tetangga perbatasan sebangsa dan setanah air tercinta, seperti Sumut, Riau, Jambi dan Bengkulu. Terus terang, saya malu. Belum banyak yang saya sumbangkan untuk tanah kelahiran saya. Paling tidak, saya mencoba mulai dengan memberi tulisan opini ini.

Seperti apa sih Sumbar itu? Sebenarnya saya takut salah menjelaskannya. Takut menyesatkan pembaca. Tapi, malas pula browsing-browsing. Capek obok-obok info sana-sini. Sudahlah, yuks langsung ke Wikipedia saja. Dijelaskannya, Sumbar mempunyai luas 42.297,30 km². Sumbar mempunyai sumber daya alam (SDA) yang aduhai. Daratannya luas dan indah. Banyak gunung tinggi indah menjulang. Bahkan, Sumbar punya laut indah dengan pulau-pulaunya yang cantik mempesona. Tentu, potensinya sangat besar di pertanian, perkebunan, peternakan, kemaritiman, dsb. Tak kalah tentunya dengan sumber daya manusia (SDM) yang mempunyai karakter moderat dan merantau. Dulu, banyak tokoh nasional sebelum dan sesudah kemerdekaan berasal dari sini. Saya yakin, generasi Sumbar sekarang masih tetap melebur bersama suku lain di republik tercinta ini untuk bersemangat membangun Indonesia yang sejahtera. Sekarang bukan jamannya lagi menonjolkan tokoh daerahnya. Tetapi, apa kontribusi daerahnya terhadap pembangunan nasional!

Apakah dengan potensi Sumbar yang besar itu sudah sebanding dengan apa yang dicapainya saat ini? Menurut saya, ini pertanyaan penting! Momentumnya tepat untuk memberikan pendapat dengan akan berakhirnya masa tugas gubernur saat ini dan yang akan dilanjutkan oleh gubernur terpilih yang akan diumumkan secara resmi oleh KPUD Sumbar.

Saya bukan orang ekonomi. Tetapi, kalau berbicara soal pencapaian pembangunan, menurut saya yang paling fair dan paling shortcut adalah coba melek ke Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dulu. Kenapa? Ya, karena IPM sudah mengintegrasikan tiga indikator, tingkat kesehatan, pendidikan, dan standard hidup layak. Kesehatan diukur dengan angka harapan hidup saat kelahiran, Pendidikan diukur dari angka harapan sekolah dan angka rata-rata lama sekolah, Standar hidup layak diukur dari produk nasional bruto per kapita. Data itu ada di BPS. Bisa diakses dengan mudah dan valid lagi. Mari kita langsung ke TKP saja. Tahun 2019, jumlah penduduknya sekitar 5,44 jutaan jiwa. Mayoritas etnis Minangkabau dan Islam. Ternyata, IPM Sumbar 72,39 persen lebih tinggi dari rata-rata nasional yang hanya 70.32. IPM Sumbar nomor 3 se Sumatera, di atas rata-rata Sumatera yang 71.92 bahkan nasional yang hanya 70.32. Sumbar cuma kalah dari Riau dan Kepulauan Riau. Sumut saja lewat. Sementara itu, data lain menunjukkan, tingkat kemiskinannya 6,42 persen di bawah rata-rata nasional 9,2 persen, tingkat pengangguran 5,33 persen.

Seribu persen saya percaya dengan semua angka-angka pencapaian itu. Oke-oke saja. Tidak ada yang perlu dibantah dan disanggah. Sekali lagi, saya bukan orang ekonomi. Tidak punya kompetensi di situ. Namun, pemantauan saya ke beberapa perantau yang sering pulang, kesan mereka terasa biasa-biasa saja. Tidak ada sesuatu yang wah. Tidak ada yang membuat berdecak kagum. Istilahnya sekarang, tidak ada yang spektakuler. Tetap saja generasi mudanya banyak keluar mencari kerja. Yang kuliah di luar, jarang ada yang kembali. Belum ada perusahaan lain yang lahir menyamai  bahkan mengalahkan citra si penghasil “abu” di Indarung sana. Dengan potensi besar yang dimilikinya, seharusnya sudah ada puluhan yang selevel dengan itu. Saya pikir penyebabnya adalah kurang bisa memanfaatkan potensi yang ada. Banyak yang terabaikan bahkan hilang begitu saja. Saya pikir, Sumbar hanya “gagal” dalam menangkap momentum yang ada. Agar anda tidak penasaran, saya akan jelaskan 2 bentuk kegagalalannya.  

Pertama, gagal dalam memfasilitasi dan mengeksekusi proyek-proyek besar nasional nan terkait dengan daerahnya. Ada beberapa contohnya di sini. Pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) Pulau Mandeh. Padahal Pemerintah Pusat sudah membantu pembangunan infrastrukturnya. Teman saya yang jurnalis itu dengan bangganya mengatakan bahwa potensi wisata Sumbar itu setara dengan Thailand, bahkan mungkin lebih! Sumbar juga gagal dalam mempercepat proyek infrastruktur konektifitas antar wilayah. Jalan tol Padang-Pekanbaru yang tidak kunjung beres pembebasan lahan. Proyeksi lambat dibanding Riau yang ujung jalan tollnya sudah sampai Bangkinang. Sudah sampai di depan pintu Sumbar. Bagaimana pula dengan nasib Proyek Geothermal? Ini merupakan proyek nasional dan sangat penting untuk bauran penyediaan energi nasional. Seharusnya Sumbar ada dalam peta propinsi yang menyumbangkan listrik dari potensi geothermal yang dimiliki.   

Kedua, gagal dalam mengembangkan potensi SDA yang sungguh aduhai cantik mempesona tadi. Apa saja itu? Ada Mentawai. Bintang film Fast and Furious, Paul Walker, sebelum meninggal melalui tweetnya mengungkapkan punya syorga di Mentawai. Konon cerita, sejak 80-an remaja Australia naik kapal Pelni dari Jakarta ke Padang, lalu disambung ke Mentawai naik kapal laut untuk bermain ombak. Disebutkannya, ombak Mentawai itu unik. Mereka belum bisa bicara surfing kalau belum sempat menjajal ombak Mentawai. Ini yang belum pernah terdengar digarap dengan serius oleh Sumbar. Pernah juga terberitakan adanya tambang emas illegal. Kalau memang potensinya besar mengapa tidak dilegalkan saja? Kan itu lebih terkontrol, baik dari sisi tanggung jawab pendapatan maupun lingkungan. Hal yang sama untuk pengembangan KEK Mandeh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun