Mohon tunggu...
Erkata Yandri
Erkata Yandri Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun sebagai Manajemen Productivity-Industry dan Energy sebagai Technical Services Specialist dengan menangani berbagai jenis industri di negara ASEAN, termasuk Indonesia dan juga Taiwan. Pernah mendapatkan training manajemen dan efisiensi energi di Amerika Serikat dan beasiswa di bidang energi terbarukan ke universitas di Jerman dan Jepang. Terakhir mengikuti Green Finance Program dari Jerman dan lulus sebagai Green Finance Specialist (GFS) dari RENAC dan juga lulus berbagai training yang diberikan oleh International Energy Agency (IEA). Juga aktif sebagai penulis opini tentang manajemen dan kebijakan energi di beberapa media nasional, juga berhasil mempublikasikan hasil penelitiannya tentang efisiensi energi dan energi terbarukan di berbagai jurnal internasional bereputasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Racikan Obat Generik ala Erick untuk BUMN Menjadi Lebih Energik

17 Januari 2021   10:29 Diperbarui: 26 September 2021   23:27 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam suatu MCS, ada sasaran (goal), perencanaan (plan), penugasan (assignment), tindak-lanjut (follow-up) dan pelaporan (report). Kelima perspektif KPI itu bisa masuk di sini, yang mengacu ke visi-misi perusahaan dan itu harus digulirkan dari level paling tinggi di suatu perusahaan, seperti CEO atau Direktur Utama, sampai ke pengawas garis terdepan (front line supervisor). Inilah yang disebut sasaran yang bergulir dari level atas atas sampai ke level bawah (GRD: goal rolls down).

Kedua, mindset yang birokratis dan monopolitis. Kalau saya mengartikannya ini dengan mindset yang negatif atau mindset yang tidak produktif alias tidak agresif. Jatuh-jatuhnya ini ke narrow-minded juga, atau berpikiran sempit. Kenapa sampai begitu? Jaman persaingan global yang ketat sekarang ini, semua pihak sudah saling mengintip pencapaian kinerja satu sama lain, misalnya produktifitas dan efisiensi. Inilah yang dinamakan benchmarking. 

Lha, bagaimana bisa maju, kalau sudah terkena virus tidak mau maju? Erick sudah benar. Terapinya hanya dengan KPI, yang dibungkus dengan MCS. Tetapi, KPI dan MCS harus benar-benar didisain dengan semestinya, dengan kaidah yang SMART (specifik, measurable, agreed, realistic, trackable). 

Lantas, bagaimana dengan buku Akhlak Untuk Negeri? Terus terang, saya agak ragu dengan keefektifan buku ini. Kalau cuma serahkan buku dan suruh baca, ya gitu deh jadinya. Soalnya, tidak semua orang mau dan suka baca. Tidak semua orang juga mau dan mampu memahami apa yang dibaca. Serta, tidak semua orang juga mau mengimplementasikan pesan yang dibaca. Tetapi, saya cukup bisa memahami, buku itu diharapkan mampu mengetuk hati insan BUMN untuk menjalankan perusahaan pemerintah dengan akhlak yang baik sesuai yang diamanahkan. Mereka diharapkan berpikir untuk meninggalkan warisan dan nama yang dikenang karena karakter dan reputasinya. 

Semoga buku itu bermanfaat, sesuai dengan misi yang ada padanya, dengan catatan ada mekanisme tertentu untuk mengukur sejauh mana efektifitas aplikasi dari buku itu. Saran saya, optimalkan saja sistem ukuran kinerja yang menggunakan KPI dengan MCS itu, dalam menganalisa perubahan akhlak yang semakin baik seperti harapan Erick terhadap buku itu.

Lalu, apa solusinya?

Sampai sini, menurut saya, kedua obat untuk kedua penyakit dan diagnosa itu sudah cukup. Sekarang, bagaimana dengan dosisnya dan jadwal minum obatnya? Untuk membuat kedua obat itu manjur, maka maka ada beberapa point yang perlu dilakukan Erick.

Pertama, bagaimana di masing-masing BUMN bisa melakukan kontrol kinerja dalam suatu regular performance review meeting. Ini bisa dilaksanakan daily, weekly, dan monthly. Sesuaikan saja dengan level jabatan dan tanggung jawab pencapaiannya. Intinya, fokus dengan variance atau selisih antara target yang di KPI dengan aktual pencapaian. Jika tidak tercapai, action plan apa yang akan diambil. 

Apa yang diharapkan Erick agar jajaran Kementerian BUMN menjalankan peran pengendalian dan pengawasan yang efektif, hanya bisa tercapai kalau kontrol pencapaian kinerja terlaksana dengan baik. Saran saya, fokus sajalah di sini jika. Anggap saja salah satu implementasi dari keinginan belajar giat soal aspek tata kelola perusahaan yang baik, sebagaimana yang diharapkan dari buku akhlak tersebut. 

Kedua, di jaman teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih begini, saya beranggapan di level kementrian BUMN sudah ada semacam War-Room (WR). Datanya ditarik dari masing-masing BUMN secara real-time, ditampilkan dalam bentuk dashboard. Cukup fokus dengan KPI yang penting-penting saja yang dipantau di ruangan itu. Yang lebih detailnya, biarlah dipantau di masijg-masing BUMN. Erick harus regular datang ke WR untuk memastikan setiap variance yang terjadi segera dilakukan corrective action. 

Jika memang belum ada WR, paling tidak bisalah dibuat aplikasinya sebentar dan dipantau hasilnya via War-Phone (WP) menggunakan aplikasi di smartphone. Yang penting, harus benar-benar dipantau action taken dari deteksi variance (permasalahan) yang terjadi. Inilah sistem pengontrolan yang paling mudah dan murah dilakukan. Ingat, jangan hanya dipelototin saja. Prinsipnya, No action, No change lho ya!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun