Membuka lembaran tahun 2021 ini, Menteri BUMN, Erick Tohir meluncurkan buku Akhlak Untuk Negeri dengan harapannya agar BUMN bisa merajai pasar dunia. Sebelumnya, di penghujung akhir tahun 2020, dia juga sudah mengeluarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor 11 Tahun 2020 mengenai kontrak manajemen tahunan direksi BUMN. Di situ diatur hal teknis mengenai Key Performance Indicator (KPI). KPI merupakan indikator kinerja penting yang fokus pada aspek-aspek kinerja perusahaan sebagai penentu keberhasilan perusahaan pada saat ini dan waktu yang akan datang.Â
Ada lima perspektif yang diharapkan Erick, yaitu; nilai ekonomi dan sosial untuk Indonesia; inovasi model bisnis; kepemimpinan teknologi; peningkatan investasi; dan pengembangan talenta. Bagi BUMN, tujuannya jelas untuk memastikan pencapaian sasaran strategis; meningkatkan efektivitas pengendalian kinerja; serta memastikan beroperasi pada koridor risiko yang dapat ditoleransi. Selain itu, KPI juga untuk mengoptimalkan upaya kapitalisasi potensi; mengakselerasi pertumbuhan kinerja; dan menilai kinerja Direksi BUMN secara fair.
Menerjemahkan Kelima Perspektif KPI
Pertanyaannya sekarang, bagaimana menerjemahkan kelima persepektif itu ke dalam suatu KPI?Â
Ok, mari kita ulik satu persatu.Â
Pertama, nilai ekonomi dan sosial untuk Indonesia: ini sudah jelas arahnya kemana, yaitu ke "profit-share improvement" untuk kantong negara dan "CSR-share improvement" untuk pengembangan sosekbud dan lingkungan. Intinya, Dirut tidak saja harus bisa mencetak profit, tapi bagaimana profit itu bisa meningkat dari tahun ke tahun dan berbagi dengan pihak lain yang membutuhkan.Â
Kedua, inovasi model bisnis: ini semacam indikator antisipasi dari BUMN terhadap perubahan tatanan ekonomi industri 4.0 sebagai efek dari "disruptive". Harus jelas bagaimana caranya mengukurnya.Â
Ketiga, kepemimpinan teknologi: semacam pendukung ke point-2, indikator antisipasi dari BUMN dalam menyesuaikan bisnisnya dengan perkembangan teknologi terkini agar bisa semakin produktif dan efisien, tidak kalah cepat dari kompetitor dalam hal kuliatas produk dan pelayanan juga pengiriman, harga, peningkatan pasar yang cepat, dsb.Â
Keempat, peningkatan investasi yang  sepertinya ada hubungan dengan point-1. Kalau profit sudah tercetak, selanjutnya tentu menimbun asset untuk kekayaan negara. Maka, tidak ada kata lain, BUMN harus mencepat profit. Malu jika masih minta dikasihani karena merugi. Perusahaan yang maju harus banyak punya aset, apalagi yang liquid.Â
Kelima, pengembangan talenta: semacam "regenerasi", jadi the next leader memang sudah digodok di sana, bukan tiba-tiba orang lain didrop ke sana. Ini perlu commitment agar jangan main drop orang saja. Begitu juga dengan orang BUMN yang juga harus pandai manggodok diri sendiri dengan mencetak the next leader. Kalau perlu, BUMN siap mancetak leader untuk "dijual" ke tempat lain. Layaknya seperti apa yang dilakukan oleh klub bola profesional. Kuncinya adanya di rekrutmen dengan gemblengan manajemen sebagai liga tempurnya.