Selain kaya akan keindahan alam, situs-situs budaya yang merupakan peniggalan para pendahulunya, Ngada memiliki segudang Legenda dan atau Cerita Rakyat yang sering didengar oleh mereka yang menghabiskan masa kecilnya bersama keluarga, masyarakat bahkan di lembaga pendidikan, diceritakan oleh siapa saja yang dipandang layak untuk mereka dengarkan di wilayah Kabupaten Ngada. Salah satu legenda atau cerita rakyat Ngada antara lain Legenda Watu Kaba.
Dikisahkan pada zaman dahulu ada sekelompok orang yang hidup di sebuah perkampungan yang disebut Nua Ebu yang terletaknya di atas puncak gunung Inelika. Jaraknya kurang lebih 3 (tiga) kilometer dari kampung Menge. Suatu ketika mereka merayakan pesta adat yang namanya Para.Â
Para artinya kerbau yang diikat pada sebuah batang Ngadhu (kayu pemali) yang kemudian ditikam dengan menggunakan tombak. Hari sudah menjelang malam, kerbau-kerbau belum ditikam semuanya. Karenanya kerbau yang sudah ditikam dan mati belum bisa diambil dagingnya untuk dimasak dan dibagikan kepada semua keluarga yang ada di kampung tersebut.
Pada malam hari menangislah seorang janak minta daging kerbau. Padahal daging belum dimasak dengan alasan semua kerbau belum dipotong. Syaratnya adalah daging boleh dimasak jika setelah semua kerbau yang tersedia untuk acara Para sudah mati semuanya (dipoting).Â
Orang tua si anak membujuk anaknya agar berhenti menangis, namun Si anak tetap saja menangis. Karena tak kunjung berhenti menangis, orang tua si anak mengambil keputusan untuk mengambil sedikit daging kerbau yang ada dan mereka bersepakat, jika ada orang bertanya, mereka akan mengatakan bahwa yang mengambil daging kerbau adalah anjing.
Ketika bapaknya hendak memotong daging kerbau dengan menggunakan parang, yang terjadi adalah kerbau berubah menjadi batu. Si bapak mencoba untuk berpindah ke kerbau yang lain. Namun semuanya sama menjadi batu. Si bapak kemudian berteriak dengan kerasnya agar semua menyaksikan dan melihat kerbau masing-masing yang telah menjadi batu.Â
Warga merasa takut dan bersepakat untuk lari meninggalkan kampung. Menurut tradisi setempat, jika ada kejadian seperti ini, itu bertanda kemarahan atau kutukan dari leluhur mereka yang dalam bahasa setempat disebut Ebu Noba.Â
Warga pun lari ke berbagai arah, ada yang lari ke arah atas. Warga yang berlari ke arah atas berubah menjadi batu ketika menoleh ke belakang. Sehingga tempat tersebut disebut Watu Ata.Â
Sebagian yang lari ke arah bawa juga ada. Seorang ibu dan dua orang anaknya sambil menarik seekor kerbau. Sampailah mereka di kali yang dalam namun tidak terlalu lebar. Merekapun berhenti di situ.Â
Si anak bertanya kepada ibunya tentang bagaimana cara melewati tempat itu dan si ibu menjawab, "nanti ibu jatuhkan badan telungkup, kamu berdua dan kerbau bisa melewati di belakang ibu untuk menyeberang ke sebelah kali".Â