[caption id="attachment_324149" align="alignnone" width="632" caption="KOMPAS/ASWIN RIZAL HARAHAP"][/caption]
Denpasar, Mei 17, 2014
Setelah menerima laporan dari Konferensi Kakao Internasional Ke 6 di Nusa Dua, Bali Jumat (16/5/2014) lalu, sungguh menyedihkan sekali.
Mengapa?
Karena spoiled yang di lakukan wakil pemerintah Indonesia, khususnya pernyataan dari Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun.
Pernyataan beliau seperti Fiksi, kalau meminjam pernyataan Kwik Kian Gie, pernyataan Profesor Kodok. Kalau menurut saya, pernyataan ABG.
Untuk itu tulisan kali ini adalah tanggapan dari pernyataan dari pihak pemerintah Indonesia yang akan saya jelaskan beberapa segmen, sehingga mudah di baca, dan anda para pembaca bisa merenungkan maksud dan tujuan saya.
Pertama-tama, apa pernyataan wakil pemerintah ini. Dalam laporan Kompas.com yang berjudul "Indonesia Produsen Kakao Terbesar Dunia pada 2015".
Dari laporan yang sedikit mislead, oleh Antara, yang di edit oleh Erlangga Djumena, salah satu editor yang wahid dari Kompas.com.
Ternyata, isinya hanya 'WACANA', 'MIMPI', 'HARAPAN', 'MENGHAYAL' bahwa Indonesia akan menjadi produsen Kakao terbesar di dunia pada tahun 2015.
Katanya, "Indonesia ditargetkan akan menjadi produsen pengolahan (grinding) kakao terbesar dunia pada 2015 dengan produksi 600.000 ton per tahun."
Katanya, "Indonesia akan melewati Ghana, dan Pantai Gading."
Dari pernyataan ini ada 2 arah yang satu benar yang satu hanya Fiksi.
Apa itu?
Jika kita membaca berita ini, terlihat cara pemberitaan dan pernyataan pihak Indonesia ada 2,
1. Produsen Kakao.
Artinya, perkebunan Kakao.
2. Pengolahan (grinding).
Artinya, pengolahan secara komersial.
Jadi jika kita tidak JELI membacanya, seolah-olah Indonesia akan menjadi produsen Kakao terbesar di dunia pada di 2015. Padahal, Faktanya tidak sama dengan pernyataan yang 'seolah-olah' Hebat Indonesia 'AKAN' menjadi Produsen Kakao Terbesar di Dunia di tahun 2015.
Mengapa pernyataan ini seperti misleading?
Mari kita melihat faktanya, pernyataan dari pihak Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), seperti diberitakan Tribunnews.com, Ketua Umum Askindo Zulhefi Sikumbang mengatakan bahwa,
di tahun 2006, produksi Kakao Indonesia adalah 600,000 ton, terus menurun sehingga beliau hanya 'MEMPERKIRAKAN' produksi tahun 2013, hanya 450,000 ton saja, lalu menurun terus hingga prakiraan produksi tahun 2014, hanya 424,000 ton saja.
Dan ini adalah angka BIJI KAKAO saja, artinya Raw Products, atau bahan mentah.
Sedangkan kebutuhan Industri Kakao untuk dioleh menjadi bubuk kokoa yang diolah, dikemas, dan siap dijual ke pasar(Seperti Padi dengan Beras. Singkong dengan tepung singkong), adalah 400,000 ton.
Sehingga, Pihak Ashindo harus meng'IMPORT' Kakao sebesar 40,000 ton di tahun ini saja. Beliau memperkirakan akan meningkat 'IMPORT' menjadi 100,000 ton di tahun 2015.
Parahnya pemerintah mengeluarakan UU bea keluar (BK) biji kakao, dan menghilangkan bea import. Mengapa kebijakan seperti ini menjadi saling bertentangan?
Karena, 75% perusahaan yang terjun dalam pengolahan Kakao, menjadi produk siap jual kepada masyarakat adalah perusahaan multi nasional, sisanya adalah perusahaan nasional. Ini tidak termasuk biaya, seperti sertifikat Halal, dan perizinan, dan birokrasi dari puluhan direktorat yang ada di pemerintahan Indonesia.
Lalu apakah petani Kakao Indonesia mendapat manfaat dari kebijaksanaan ini?
Harga Kakao di pihak petani naik, kini harganya sekitar Rp.33,000 perkilonya. Tetapi, dengan memberikan bebas bea terhadap kakao impor, apakah ada jaminan harga ini tetap dipertahankan di tahun depan?
Trend lokal Kakao menurun, Trend Import Kakao meningkat. Bea Export Kakao berlaku, Bea Import Kakao Ditiadakan. Sehingga 'Jika' import Kakao yang akan masuk sebesar 100,000 ton akan bebas bea, apakah tidak akan menghimbas harga kakao dalam negeri?
Dampak lainnya adalah perusahaan pengolahaan kakao akan mati suri, alias bangkrut bertambah. Sekarang ini sudah ada 8 perusahaan, dan hanya 6 yang beroperasi. Padahal kapasitasnya sebesar 850,000 ton, dan yang berstatus siap beroperasi hanya 6 saja.
Berita baru lainnya dari kementrian Perindustrian site adalah GRESIK - PT Cargill Indonesia memulai pembangunan pabrik pengelolaan kakao senilai US$ 100 juta (Rp 973,70 miliar) di Kawasan Industri Maspion V, Gresik, Jawa Timur. Pabrik yang ditargetkan selesai dibangun pada 2014 ini untuk memenuhi kebutuhan kakao di wilayah Asia. Pabrik ini membutuhkan kira-kira 70,000 ton kakao.
Langkah apakah yang sudah diambil oleh pemerintah Indonesia?
Jika menggunakan data yang diberikan adalah menggunakan Pihak Cargil untuk melatih dan membantu pihak petani yang kira-kira berjumlah 1,300 di seluruh Indonesia.
Jadi Bea Export Kakao adalah tepat, sehingga bisa mendorong pengolahan Kakao di dalam negeri. Kenyataan nya, menjadi harus ada pihak Asing, yang mengeluarkan dana jutaan US Dollar, untuk membantu para petani Kakao yang ada di Indonesia.
Sedangkan pihak pemerintah Indonesia, seharusnya membantu perusahaan yang mati suri, dan petani yang selama ini terus-menerus berkurang produksinya.
Dan dari Konferensi ini tidak ada laporan kepada publik, bagaimana nasib para petani, dan perusahaan yang sedang mati suri.
Dipihak Cargil, dan investor riil asing sudah menjalankan dan berusaha bersinergi dengan menginvestasikan di dalam negeri. Dan kini menunggu bagaimana pihak pemerintah Indonesia, membantu petani dan perusahaan yang tidak beroperasi selama ini.
Menurut saya, adalah stabilitas produksi, dan stabilitas harga itulah yang terpenting, bukan hanya harga yang tinggi, tetapi dalam waktu yang singkat saja.
Perkebunan adalah way of life untuk banyak penduduk Indonesia. Mereka tidak menginginkan harga yang tinggi, tetapi akhirnya tidak dapat bertahan lama. Petani mengerti bahwa perkebunan adalah usaha berkelanjutan jangka panjang, dengan margin yang tidak besar. Tetapi, berkelanjutan sebagai gaya hidup yang diinginkan.
Seperti di Amerika, petani di sana, dilindungi oleh subsidi, asuransi kegagalan, grant, dan private government petani partneship program, sehingga bahan baku hasil pertanian bisa di transform, dari pertanian, atau perkebunan primitif, menjadi industrial yang tentunya bermanfaat untuk konsumen, dan masyarakat lokal, maupun dunia.
Harapan saya, perlunya pihak pemerintah Indonesia mengelurakan pernyataan yang transparan, dan jelas, bukan hanya half truth, or sepotong-potong. Padahal masalah pertanian dan perkebunan adalah masalah yang sangat serius. Dan perlu didiskusikan, dan didebatkan secara komprehensif, seperti bagaimana memperlancar distribusi, dan infrastruktur yang modern.
Ini hanya harapan saya, sebagai seorang rakyat jeloto yang melihat di lapangan, bukan hanya duduk di bangku sekolah, dan kantor pemerintahan di lantai 20.
Salam Kakao
Jack Soetopo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H