Ancol, Jakarta August 17, 2014
Kali ini saya tidak tahan untuk menulis tanggapan dari Kompasioner terkenal ini...yang berjudul "Gugatan Pilpres ke MK: Sejatinya Pelajaran Berdemokrasi." Karena menulis seolah-olah perlajaran berdemokrasi itu yang semau edelnya saja.
Dengan gaya bak wartawan kelas duniaya, Ira Oemar mencoba menggiring lagi publik kepada narasi yang sudah kedaluwarsa alias ketinggalan jaman.
Mengapa demikian?
Ira Oemar menggunakan alasan-alasan di pemilu lalu, yang jatuh nya dengan persoalan yang sama atau itu itu saja.
Padahal jika ini menjadi pelajaran berdemokrasi, tidak akan terulang dalam pemilu 2014. Lalu mengapa pihaknya yang diam-diam didukung, sekarang menjustifikasi bahwa ini adalah pelajaran yang bagus.
Jawaban saya, justru demikian,
'Fool me once, shame on you, Fool me Twice, shame on me.' Nah kini 'Fool me third times, shame on who?'.
Kalau kata kasarnya, jawaban 'Fool me third times, shame on your mamma.' Tetapi artinya sangat kasar sekali bukan.
Lalu ini pemikiran dari Ira Oemar sebagai pembela, saksi, penasehat, capres nomor 1. Entah dia katakan dimuka umum atau tidak. Itu hak nya sendiri, kan itu hak asasi dirinya. Tetapi menulis opini yang menggiring, kepada narasi, bahwa menggugat ke MK sebagai pelajaran itu sangat bagus. Artinya secara jujur, dia memberikan jawaban atas pernyataan saya diatas... yaitu 'Fool me third times, shame on who?'
Saya jadi teringat, pernyataan dan tanggapan saat itu, Ahok sebagai anggota DPR dalam rapat dengan Baswalu, dan KPU, mengenai kasus ada beberapa warga yang merasa hak pilihnya sebagai WNI di larang.
Sebagai, kebijaksanaan kali ini, Bawaslu dan KPU, menerbitkan DPKTb, dan kebijaksanaan yang ada lainnya. Gunanya pelajaran dari 2 pemilu yang lalu. Itupun sebenarnya diakui oleh pihak yang menggugat di MK. Istilahnya gaya orang barat itu disfranchisement voters. Oleh sebab itu dilakukan kebijkasanaan DPKTb yang biasa disebut absentee ballot.