Mohon tunggu...
Jacinda Claramuti Purnomo
Jacinda Claramuti Purnomo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fikom Unpad

Currently attracted to creative media

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Mengingat Hari Laut Sedunia: Tak Henti Juga Nelayan Suarakan Cabut Regulasi Pengelolaan Hasil Laut

28 Juni 2024   11:17 Diperbarui: 28 Juni 2024   12:32 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap tanggal 8 Juni pastinya menjadi hal yang dinanti para nelayan maupun masyarakat pesisir laut. Pasalnya di tanggal tersebut menjadi sebuah kesempatan bagi mereka untuk menyuarakan aspirasinya mengenai segala aktivitas di kawasan laut. Lantas, apakah perlu menunggu peringatan hari laut sedunia terlebih dahulu agar aspirasi mereka didengar? 

Sungguh ironi, kebijakan yang dibuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 memberikan dampak yang dapat menghancurkan kelestarian ekosistem laut maupun merugikan nelayan tradisional juga nelayan kecil dalam aktivitas mata pencariannya. Mengapa tidak? Regulasi yang dibuat justru malah berlawanan dengan tindakan pemulihan juga perlindungan kawasan pesisir dan laut, malah hasil dari pengambilan sedimen atau pasir laut digunakan untuk tujuan komersil. Selain itu juga dalam regulasi ini menyeret kata "pembersihan" seolah-olah memberi kesan ramah lingkungan juga menjaga ekosistem laut. Padahal fakta yang terjadi adalah pengambilan sedimen laut dengan penggunaan teknik dikeruk atau menggunakan kapal isap dengan skala besar. 

Dengan adanya Hari Laut Sedunia Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) juga ikut menyuarakan desakan pencabutan pertambangan pasir laut dan menolak blue economy yang masih dipromosikan oleh Pemerintah Indonesia dalam PP No. 26/2023 dan Permen KKP No. 22/2023 ini harus segera dicabut dalam tempo yang secepatnya.

Direktur Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan (LPSDN) Amin Abdullah menegaskan bahwa penambangan pasir laut telah dihentikan, namun dampaknya sampai sekarang masih terasa. Terutama bagi nelayan yang ada di beberapa desa di Lombok Timur, untuk meneruskan aktivitas mata pencariannya mereka harus berlayar sampai ke perairan laut Sumba, Nusa Tenggara Timur tepatnya Pulau Salura. Lalu bagaimana tindakan selanjutnya? 

Amin berpendapat bahwa dampak krisis iklim juga makin memperburuk keadaan laut akibat adanya regulasi tersebut bagi tambang pasir laut. Kondisi nelayan di Indonesia saat ini masih kurang diberikan perlindungan dari pemerintah.

Saat ini penolakan terhadap kebijakan tersebut masih diperjuangkan oleh nelayan salah satunya Marzuki sebagai nelayan tangkap di Tambakrejo, Kota Semarang, Jawa Tengah. Dengan ratusan nelayan lainnya di daerah Semarang dan kawasan Pantai Utara Jawa terancam penambangan pasir laut di perairan Demak dengan 574 juta meter persegi. Tindakan ini pastinya memiliki efek kekhawatiran terhadap nasib nelayan di pesisir Tambakrejo saat sedang melakukan aktivitas menangkap ikan karena banyaknya pipa industri yang masih masif. 

Peringatan Hari Laut Sedunia sudah berlalu, aspirasi dari nelayan dan masyarakat pesisir laut juga sudah disuarakan. Lalu, jika peraturan ini masih terus berjalan maka penambangan pasir laut hanya akan merusak laut Indonesia dan menghancurkan kehidupan lebih dari 8 juta rumah tangga perikanan konvensional, dan Pemerintah Indonesia juga yang nantinya mengeluarkan jumlah dana yang jauh lebih besar untuk pemulihan daripada apa yang didapatkan sekarang. Maka, jika kebijakan pencabutan PP No. 26/2023 dan Permen KKP No. 22/2023 ditegakkan pastinya akan menguntungkan masyarakat pesisir laut terutama para nelayan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun