Saat ini industri gadget dan aplikasi (over the top) sungguh telah menggeser dominasi operator telekomunikasi (telecommunication carriers), dan bahkan telah menentukan arah industri telekomunikasi nasional.
Mereka sudah sangat memegang peran, sementara telecommunication carriers cenderung tidak memiliki ruang dalam menentukan arah industri dibanding tahun sebelumnya, bisa dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan revenue industri gadget dan aplikasi yang mereka peroleh, terutama dalam produk data, dan kapitalisasi mereka yang semakin meningkat.
Sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi telecommunication carriers, di samping harus menjaga kualitas layanannya, juga memunculkan telecommunication carries untuk mananamkan usahanya di negeri ini.
Bagi regulator (baca : Pemerintah), perlu penanganan dan kesigapan dalam memberikan rambu-rambu di dalam aturan yang diterbitkannya, dan tentunya regulasi yang diterbitkannya tidak melanggar rambu aturan yang lain atau aturan di atasnya.
Regulasi yang tetap dapat menarik para pemodal tanpa harus "mengangkangi" martabat bangsanya.
Walau saat ini telah ada UU Nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi telah mengatur segala hal tentang telekomunikasi, namun terkesan UU ini belum mampu memberikan perlindungan telcommunication carriers sesuai amanat UUD 1945 Pasal 33, yakni (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Jelas sudah industri telekomunikasi, telah dianggap sebagai industri yang tidak lagi strategis.
Hal itu bisa terlihat dalam Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah jilid 16 yang diterbitkan Pemerintah beberapa waktu lalu.
Kebijakan ini sangat sudah tidak lagi mempertimbangkan dampak bagi masyarakat Indonesia (pelaku industri kecil/UMKM dan sejenisnya) khususnya di sektor telekomunikasi dan internet, yakni Warung Internet, Jasa sistem komunikasi data, Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi tetap, penyelenggaraan jaringan telekomunikasi bergerak, Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi layanan konten (ringtone, sms premium, dsb), Pusat layanan informasi dan jasa nilai tambah telepon lainnya, Jasa akses internet, Jasa internet telepon untuk keperluan publik, Jasa interkoneksi internet (NAP) dan jasa multimedia lainnya.
Jika usaha-usaha di atas menurut Paket Kebijkan Ekonomi Pemerintah jilid 16 diperbolehkan 100% Asing menguasainya, maka dampaknya sungguh sangat miris, layaknya negara Republik ini telah "terjual".
Juga sekilas yang dapat penulis fahami adalah adanya upaya untuk memprivatisasi BUMN termasuk Telkom yang sahamnya masih mayoritas dimiliki negara ini melalui Pemerintah RI dan juga ada arah untuk melepas saham lainnya di Indosat sekitar 14,9% yang masih dimiliki Pemerintah RI, dengan alibi memenuhi amanat Paket Ekonomi-nya yang memungkinkan investasi asing hingga 100%.
Industri telekomunikasi belum merdeka, telecommunication carriers satu-satunya milik negeri dalam hal ini Telkom, akan terusir dari negaranya sendiri, sebab dengan kebijkan ini akan banyak industri akan dikuasai oleh asing.
Di era ekonomi digital saat ini, semua elemen bangsa ini harus menyadari bahwa infrastruktur dan jasa telekomunikasi merupakan pilar utama yang strategis, dan ujungnya harus dapat memberikan kesejahteraan sebesar-besar bagi masyarakat Indonesia, dan ini sangat sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H