Upaya “merias wajah” komunitas sastra tidak bisa dilepaskan dari yang namanya peta. Di samping itu, pengetahuan terhadap perkembangan peta sastra sangat berpengaruh untuk menentukan arah dan laju sebuah komunitas sastra. Karena itu, setiap komunitas harus peka dan tanggap terhadap segala hal yang terjadi di luar komunitasnya. Bagaimana mungkin komunitas bisa berkembang dan menjadi ayu serta payu manakala terkungkung dan malas meng-update kebaruan-kebaruan informasi terkait dengan dunia sastra. Sebuah komunitas tidak bisa hanya berpangku tangan dan njagakno jika ingin menjadi dari bagian peta sastra. Jangan sampai komunitas kita termasuk dalam golongan “ada dan tidak adanya sama dengan tidak ada”. Di sinilah pertanyaan setelah mendirikan komunitas terus lapo harus dijawab. Secara tidak langsung, ketika kita memutuskan hendak mendirikan sebuah komunitas, kita juga harus memikirkan kontribusi apa yang bisa kita berikan untuk dunia sastra, baik di daerah maupun di luar daerah.
Banyaknya komunitas sastra yang lahir pada satu sisi adalah berita gembira, pada saat yang bersamaan adalah keprihatinan manakala tidak mampu memberikan manfaat terhadap komunitas yang lain, terlebih dunia sastra. Jika sebuah komunitas ruang geraknya hanya mencukupkan diri pada fungsi sebagai rumah singgah dan rumah berkarya bagi anggotanya, maka itu adalah kerugian. Ada saat-saat kita berkarya untuk diri kita sendiri dan ada pula saat-saat di mana kita juga ber-ijtihad menciptakan karya berupa ruang untuk orang lain sebagai bentuk tanggungjawab sosial kita dalam berkomunitas dan bermasyarakat. Adanya kesadaran – utamanya bagi komunitas sastra yang sudah mapan – untuk berkenan berbagi energi, pemikiran, dan ruang, serta rasa andarbeni terhadap komunitas yang lainnya akan menguatkan keberadaan sebuah komunitas dan nyala sastra juga akan terjaga. Dengan kata lain, komunitas sastra yang baik adalah komunitas yang mampu memberi manfaat bagi lingkungannya.
Yang lama musnah.. Masa pun berubah .. Dan di atas puing-puing reruntuhan .. Mekarlah kehidupan baru, kata Willem Schiller. Akhirnya, waktulah yang akan menguji ketangguhan masing-masing komunitas. Selamat bermuhasabah.
___________
* Tulisan ini dimuat Serambi Budaya Radar Mojokerto, Minggu, 28 Agustus 2011 dan telah disampaikan dalam diskusi Jum’atan Sastra # 11 : “Bedah Jurnal Sastra dan Budaya Jombangana Edisi III” yang digelar oleh Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat tanggal 26 Agustus 2011 di Gedung Persatuan Wartawan Indonesia, Kompleks Jombang Media Center, Jl. KH. Wachid Hasyim, Jombang, pukul 15.15 – 17.15 Wib.
2 Pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang
3 Nasrul Ilahi, “Cekne Payu Ayo Diayu-ayu”, Jombangana Edisi 3, 2011, h. 48
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H