Mohon tunggu...
jabbar abdullah
jabbar abdullah Mohon Tunggu... lainnya -

Pegiat Komunitas Lembah Pring Biro Mojokerto yang menggemari Ludruk Karya Budaya Mojokerto. MOTTO : "Jangan sampai kebudayaan bunuh diri dengan pedangnya sendiri." (M. Iqbal, Rethinking Islam)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merias Wajah Komunitas Sastra Jombang

16 Januari 2012   21:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13267484821445577065

Nah, dalam tataran inilah membangun jejaring itu menjadi kebutuhan. Membangun jejaring membutuhkan keberanian dan energi yang besar. Sama halnya dengan melimpahnya cara membunyikan data, cara membangun jejaring juga beragam. Salah satunya, mengagendakan kluyuran.Karena setiap peristiwa bermakna dan berhikmah, maka energi kluyuran yang kita miliki harus diolah agar tidak menjadi sia-sia. Seperti halnya menulis, salah satu musuh dari ngluyur atau bersilaturrohim dengan banyak orang dan komunitas adalah kemalasan. Malas karena lokasi yang jauh dan lain-lain. Seringkali kita meremehkan hal-hal yang sederhana. Jika dikaitkan dengan proses bertahan hidupnya sebuah komunitas, kluyuran atau silaturrohim adalah kebutuhan primer. Seseorang atau komunitas akan menjadi miskin data dan perjalanan komunitasnya menjadi tidak menarik untuk disimak manakala enggan, jika tidak ingin dikatakan malas, untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan yang lainnya.

Terkait dengan upaya membangun jejaring dan memberi bunyi pada data ini dan kenapa pula kluyuran menjadi proses yang harus dilewati, saya teringat pernyataan Fahrudin Nasrulloh, founding father Komunitas Lembah Pring, yang pekikkan dalam forum pertemuan Komunitas Sastra se Jatim yang dihelat di Aula Universitas 17 Agustus, Surabaya (maaf lupa tanggal mainnya): “Komunitas itu ibarat gerobak. Kalau gerobaknya sudah ada, lantas diisi apa dan mau disorong ke mana?”

Lontaran tersebut hingga kini menjadi kegelisahan saya, baik secara personal maupun sebagai lurah KLP, dan senantiasa saya dirawat agar nyala bara api terjaga. Menjaga nyala bara api tidak semudah seperti yang tampak. Si penjaga harus mempunyai daya antisipasi yang tinggi dan senantiasa terjaga, bukan berspekulasi. Daya antisipasi dan keterjagaan ini ditopang dengan memperkuat silaturrohim. Segala yang diperoleh dari hasil silaturrohim ini kemudian dipilih dan dipilah sesuai dengan kebutuhan. Sederhananya, keluar rumah menuju “pasar sastra” untuk kulakan lalu dibawa pulang untuk dimasak. Sebisa mungkin, masakan KLP juga bisa dinikmati oleh orang lain, minimal tetangga terdekat.

Merias Wajah Komunitas Sastra Jombang

Ada dialog yang menarik antara Besut dan Man Gondo yang ditulis oleh Cak Nas, panggilan akrab Nasrul Ilahi, dalam Sketsa Besutan yang berjudul “Cekne Payu Ayo Diayu-ayu”:

“Sir kusir, mbang kumbang, sumonggo mampir, niki lho Jombang.”

“Gak ngunu se, Sut. Kit jaman Mbah Joyo ngantek jaman Mbah Google, nawakno kutho Jombang terus. Gak lecek ta, lambemu?”

“Lha nek gak awake dhewe, kate sopo maneh sing kate ngelem, ngepik-ngepik, barek nawak-nawakno Jombang? Kate dijarno mangkrak ta, Man Gondo?”

”Nawakno yo nawakno, tapi apane. sing pantes ditawakno? Nggone yo gak nok sing monyos, gak nok sing kenek diwasno, opo maneh diparani. Panganan khas yo gak jelas. Oleh-oleh liyane yo opo?”

Seperti yang diurai dalam Jombangana Edisi III oleh Siti Sa’adah dan Purwanto, Jombang memiliki kekayaan komunitas sastra. Ada Komunitas Lembah Pring Jombang (KLP), Lingkar Studi Warung Sastra (LISWAS, Ngoro), Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat, Komunitas Pena (KOMA, Ponpes Tambakberas), Sanggar Kata, Alifna Qolba (SMA Muhammadiyah I), Sanggar Sinau Lentera, Kelompok Alief Mojoagung, Pecinta Sastra Kopi, Lembah Pena Endhut Ireng, dan yang terbaru adalah Kopi Sareng (Komunitas Penulis Sastra Tebuireng) yang di bawah binaan Lan Fang, penulis cerpen, esai dan novelis asal Surabaya. Masing-masing komunitas juga telah bergerak dan menjalankan program kerja keseniannya.

Setiap komunitas – di manapun – tentunya mempunyai strategi tersendiri dalam “merias wajah, ngelem, ngepik-ngepik, barek nawak-nawakno” komunitasnya agar tampak ayu lalu payu. Minimal untuk sekadar berkata, “Kami ada, lho.”Dan, itu sah-sah saja, sepanjang tidak merugikan tetangganya, meskipun pada tataran realitas juga terjadi upaya-upaya untuk “membunuh” komunitas yang terlanjur dianggap pesaing, atau bahkan musuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun