Mohon tunggu...
Jabal Sab
Jabal Sab Mohon Tunggu... Penulis - Mantan Kepala Bidang Informasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

Menulis untuk berbagi pengetahuan, menulis untuk perubahan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ojek Online, Lapangan Kerja yang Diminati Saat Sulitnya Mencari Kerja

5 Oktober 2023   07:52 Diperbarui: 5 Oktober 2023   07:55 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo driver Gojek. Sumber foto: Kantor Berita Antara

Di suatu hari saat motor rusak, saya memesan gojek untuk mengunjungi salah satu warung kopi di Banda Aceh. Dalam perjalanan, saya menyapa tukang gojek dan terlibat dalam obrolan.

"Abang berapa dapat tiap hari dari tarek gojek? Apa ada dapat 100 ribu?"

"Lebih bang. Rata-rata 200 ribu tiap hari. Tapi itulah harus konsisten. Harus kerja sampe 12 jam sehari."

Saya tanya, "udah nikah bang? "Belom," jawabnya. Lumayan enam juta untuk seorang lajang yang belum berkeluarga, pikir saya.

Dari segi pendapatan saya kagum. Pendapatan dari gojek bisa dua kali lipat gaji pegawai kontrak di kantor pemerintah. Tapi di sisi jam kerja, pekerjaan ini menyita waktu cukup lama, juga menguras energi, apalagi di tengah terik matahari kota Banda Aceh yang lumayan panas.

Normalnya kerja di kantor adalah 8 jam. Ini mungkin yang disebut oleh Karl Marx bahwa kerjanya para buruh dapat membuat mereka teralienasi dari lingkup sosial dan lingkungannya. Namun gojek bukanlah perusahaan yang mempekerjakan karyawan sepenuhnya. Gojek adalah perusahaan yang menawarkan partnership kepada pemilik motor dan mobil untuk jasa transportasi. Gig ekonomi istilahnya.

Gig ekonomi adalah sistem tenaga kerja bebas yang mana perusahaan hanya mengontrak pekerja independen dalam jangka waktu pendek. Gig ekonomi memiliki prinsip bahwa orang yang dipekerjakan dan dibayar berdasarkan apa yang mereka kerjakan.

Uber, Grab dan Gojek menawarkan pekerjaan yang masuk dalam kategori gig ekonomi. Pekerjanya bukan karyawan formal, mereka hanya bekerjasama dengan perusahaan. Mereka perlu menyediakan sepeda motor sendiri sebagai modal kerja mereka, tidak disediakan oleh perusahaan. Waktu luang bagi mereka sebenarnya lebih fleksibel. Hanya saja karyawan tidak termasuk dalam tanggung jawab perusahaan secara penuh. Mereka hanya mendapat share dari kerjanya. Kerentanan pekerja di sektor ini pun jadi sebuah wacana baru. Mereka tidak di cover perusahaan berupa asuransi atau bonus tahunan. Bahkan sempat ada kebijakan pemotongan bonus dari perusahaan.

Peminat menjadi driver Gojek, Gocar dan Grab cukup tinggi di Aceh. Hasil pemantauan saya, katanya perusahaan-perusahaan ini tidak membuka lowongan baru untuk karyawan baru. Jadi jatah driver sudah penuh. Ini menunjukkan antusiasme masyarakat untuk memilih pekerjaan ini. Mungkin juga keterbatasan lapangan kerja yang tersedia. Maka kehadiran Gojek, Grab dan Maxim di Banda Aceh jadi lapangan kerja baru yang sangat diminati.

"Kami harus kerja konsisten bang. Sistemnya gak kasih kemudahan kalo banyak jam kerja ditinggal atau banyak libur," jelas bang gojek mengomentari sistem komputerisasi aplikasi Gojek dalam memilih penumpang bagi driver.

Di satu sisi Gojek menawarkan pendapatan yang lumayan mencukupi. Di sisi lain pekerja seakan masih dalam kondisi "dieksploitasi" untuk memenuhi jam kerja tertentu yang diharapkan oleh Gojek. Eksploitasi menjadi makin halus di era kapitalisme yang makin mapan. Ke depan, kapitalisme punya potensi bergerak ke dua arah: menjadi makin manusiawi dengan mempertimbangkan kesejahteraan dan hak-hak pekerja atau bisa saja mengesampingkan aspek kemanusiaan bahkan meninggalkan manusia dengan dengan mengganti peran kerja manusia yang digantikan oleh robot dan Artificial Intelligence (AI).

Untuk konteks Aceh, kehadiran perusahaan semisal Gojek cukup membantu dalam menyerap tenaga kerja, di tengah keadaan sulitnya mencari lapangan kerja bagi generasi muda di Aceh. Juga ketersediaan taksi online dan Gojek online ini memudahkan berkembangnya pariwisata, memudahkan wisatawan untuk berkunjung ke spot-spot wisata, di tengah minimnya transportasi publik.

Dengan adanya sistem aplikasi, ongkos atau biaya transportasi pun terukur. Jadi tidak ada lagi kasus dimana tukang becak menipu wisatawan dengan mengenakan ongkos yang mahal untuk jarak tempuh yang pendek. Kehadiran taxi dan ojek online ini, dilihat dari sektor pariwisata, memberikan dampak yang cukup positif.

Pertanyaannya kemudian, di tengah bonus demografi dimana jumlah penduduk mayoritas adalah angkatan kerja produktif; generasi milenial dan generasi Z, solusi apa yang bisa kita tawarkan untuk menambah lapangan kerja bagi anak-anak muda usia produktif? Sektor usaha apa yang mampu menyerap tenaga kerja? Bisakah kita mengalihkan ketertarikan kita di saat menjadi PNS semakin sulit dan saat pegawai kontrak isunya akan dibatasi bahkan dihapus?

Wirausaha menjadi tantangan tersendiri bagi kita. Sejauh mana kemandirian dan daya tahan anak muda kita untuk berwirausaha di Aceh? Sejauh mana lembaga keuangan mau memfasilitasi pembiayaan anak muda untuk berwirausaha ketika mereka tak memiliki aset untuk dijadikan agunan? Sektor usaha apa yang kira-kira bisa kita andalkan untuk memberikan lapangan kerja yang menjanjikan?

Saya rasa ini pekerjaan rumah pemerintah daerah dan juga tugas kita semua untuk berpikir tentang masa depan generasi muda sekaligus angkatan kerja produktif Aceh. Bagaimana keadaan Aceh di 10 atau 20 tahun mendatang. Terlebih ketika Otsus tahun 2027 berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun