Tulisan ini semata bukan memojokkan suatu pihak. Bukan untuk memperburuk citra pesantren, karena penulis juga berasal dari pesantren dan sangat mencintai pesantren. Tulisan ini murni kegundahan saya terhadap intuisi yang katanya termasuk salah satu -bersama masjid- dari dua benteng terakhir umat Islam. Tulisan kali ini merupakan sebuah fakta yang penulis dapatkan selama bertemu dengan beberapa pesantren, di daerah Polman, Pinrang, Sidrap, Enrekang, serta Makassar.
Pesantren, sebuah lembaga pendidikan klasik. Bisa dikatakan bahwa pesantren merupakan cikal bakal pendidikan modern Indonesia. Pesantren -sejauh penulis membaca- memiliki beberapa jenis, pesantren modern dan salafi. Pesantren salafi biasanya punya dual methods dalam pendidikan, antara mengadakan pondok -yang akhirnya ditiru oleh banyak sekolah umum- atau tidak mengadakan pondok.
Pesantren, kerap kali memiliki arti ganda, di satu pihak sebagai penghasil anak "putih" dan satu pihak sebagai "bengkel anak cacat produksi". Dari dulu diakui bahwa pola pengasuhan pesantren -jika tidak terganggu pengaruh luar- merupakan pola pengasuhan terbaik. Beberapa tingkat di atas sekolah umum. Kenapa ? Dewasa ini, banyak sekolah umum yang mencoba bersaing dengan (baca : memotong jalur) pola pengasuhan pesantren, mulai dari asrama, pola pengajaran 24 jam, dan pembinaan akhlak, hingga mencoba melatih para siswanya menjadi para muballigh, akan tetapi entah kenapa pesantren selalu berada lebih di atas.
Apa yang menyebabkan hal tersebut begitu kentara ? Jawaban paling konkret sekaligus absurd adalah faktor, "barakka" (istilah bugis itu semacam karamah DSB). Kenapa harus barakka yang menjadi faktor pembeda ? Jawabannya, silahkan masuk pesantren dan rasakan suasananya.
Namun celakanya, pesantren kini malah kehilangan "jati diri" dan membanting setirnya, menuju pendidikan umum. Pesantren modern biasanya memiliki 3 jenis pelajaran -sekolah umum cuma satu, madrasah dua- yaitu, pelajaran umum, pelajaran madrasah, dan pelajaran kepesantrenan (bisa anda bayangkan betapa ngerinya jadwal belajarnya).Â
Akan tetapi, seiring waktu, pelajaran kepesantrenan yang seharusnya menjadi ujung tombak malah semakin terpinggirkan. Banyak pesantren modern yang mengadakan pengajian kitab kuning antara waktu maghrib dan isya, alhasil pikiran santri Yang seharusnya asyik memberi harakat dan menulis arti pada kitab menjadi kemana-mana.
Mari bandingkan dengan pesantren salafi, mereka memiliki banyak guru, sehingga para santri memiliki bacaan (biasanya jurumiyah, Imrithy, Alfiyah, Fathul izzar, hingga Durrat An Nashihin) sendiri (istilahnya sorogan), sehingga para santri dididik mampu membaca sendiri kitabnya, yang otomatis membuat otak makin terasah, bahkan bisa saya bisa mengatakan bahwa menyelesaikan harakat demi harakat kitab kuning bahkan memiliki tingkatan yang berbeda (baca : di atas) dari menyelesaikan soal matematika SMA (Trigonometri dikecualikan).
Sehingga dewasa ini, ketika seorang santri keluar dari pesantren, terkadang santri menjadi orang yang setengah-setengah, tak jelas di pendidikan umum dan tak mampu membaca kitab. Sungguh sayang, seorang santri yang ketika ia keluar hanya menggenggam selembar kertas. Masyarakat umum berpadangan, bahwa santri identik dengan hafalan Al qur'an (hafidz).
Padahal sejatinya yang seharusnya menjadi ciri khas seorang santri adalah kemampuan membaca kitab kuning, kecuali jika pesantrennya memang menekankan pada penghafalan seperti Nurul Huffadz 88, Bone. Menurut Abdullah Wahab, Lc, seorang penghafal Al qur'an tanpa kemampuan pemahaman nahwu (kitab kuning) adalah hanya akan membimbingnya menjadi imam saja. Bahkan kerap kali para tahfidz menjadi korban penyalah paham, karena mereka diberikan sebuah pernyataan yang dil sendiri hafal.
Terakhir, tapi ke depannya masih ada tulisan saya lagi mengenai pesantren. Jika anda hendak memperdalam pemahaman agama dari dasar, dalam artian mempelajari warisan terbuang (kitab kuning), anda berada di Polman, berbanggalah, anda di kabupaten yang luar biasa dengan gudang ilmu melimpah hingga isinya tumpah ruah, dari Campalagian hingga Balanipa ada banyak. Jika  anda berada di daerah Pinrang, belajarlah di pesantren Al Azhar Asysyarif. Di Sidrap, ada ponpes Al Urwatul Wutsqaa.
Cat :
Sorogan : mengaji kitab kuning dengan santri mendorong kitabnya ke hadapan guru saat tiba gilirannya.
Barakka : bahasa bugis dan mandar untuk berkah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H