Buat apa merepotkan diri dengan huruf Arab Tanpa baris? Kamu jangan-jangan adalah orang ektremis yang terlalu kearab-araban.
Kan sudah Ada terjemahan, buat apa kitab kuning ?
Demikian beberapa kalimat yang terlontar dari beberapa orang sinis saat saya memutuskan hendak belajar kitab kuning dahulu. Konon katanya mereka khawatir dengan kemampuan bahasa dan hitungan saya bakal memudar. Pertukaran setara ! Mungkin hanya teori dalam film Full metal alchemist tersebut lah saya mengembalikan anggapan itu. Dengan mengorbankan sesuatu, kita Akan mendapatkan yang lain, masuk akal.
Kita masuk dalam bahasan kitab kuning. Apa itu kitab kuning ? Banyak orang bertanya saat saya mengatakan apa yang sedang saya geluti. Kitab kuning adalah buku berbahasa arab yang tak memiliki harakat.
Otomatis, kita seperti membaca buta, tak tahu huruf vokal dari huruf hijaiyah, aksara arab. Sekarang sudah banyak buku terjemahan berseliweran di sana sini, kenapa harus belajar ilmu klasik yang tak terpakai lagi ? Kita hidup di dunia, jangan melulu belajar ekstremis seperti itu. Demikian tanggapan beberapa orang.
Saya mencoba membandingkannya, seberapa penting urgensi dari kitab kuning. Masih relevan kah ilmu tersebut ?
Saban hari, saya bersama seorang teman yang sedang membaca matan al jurumiyah. Pada suatu kalimat, ia berhenti dan bertanya pada saya, "apa arti Zaidun Munthaliqan ?" Segera saja saya mengambil kamis dan menemukan kata dasarnya, thalaq, artinya cerai. Saya bingung, lalu kembali mencari hingga akhirnya tak menemukannya.
Akhirnya saya memutuskan untuk membuka aplikasi matan al jurumiyah di smartphone saya. Alhasil, nihil! Tak ada kalimat itu, yang ada hanya kalimat "Zaidun Qaimun" yah, memang ini hanya kalimat contoh dalam kitab nahwu tersebut, merasa bimbang, saya menarik syarah jurumiyah dan menemukan kata yang sama dengan yang ada di matan Al jurumiyah. Padahal baik matan al jurumiyah versi cetak dan elektronik sama-sama berdasar kitab berjudul sama karya As-Sanhaji, namun kenapa ada perbedaan ? Aneh.
Lanjut ke bahasan bulughul maram. Dalam kitab hadits itu guru saya menjelaskan sebuah hadits yang berbunyi, "Rasulullah berwudhu dengan membasuh tangannya 3 Kali. "Terjadi perbedaan pendapat, dari mazhab Maliki mengatakan bahwa membasuh 3 Kali hukumnya wajib Karena kejelasan dan keshahihan hadits tersebut.
Sedangkan dari mazhab lain, mengatakan membasuh 3 Kali adalah sunnah karena tak adanya fi'il amr (perintah) dalam hadits tersebut yang menyebabkan kewajiban. Dari sini saya bisa mempelajari bahwa perbedaan sebenarnya adalah rahmat Allah yang membuat agam islam semakin kaya.Â
Selain itu, dari sini kita bisa menarik seberapa urgent sebenarnya ilmu yang harus dipergunakan dalam memahami Al qur'an dan hadits. maka, sepantasnya,memahami ayat dan Hadits tak melulu soal mata dan logika, tapi juga memerlukan intuisi, penelitian berkelanjutan.
Selanjutnya, dalam buku Laa Tahzan cetakan Indonesia terdapat kalimat yang membuat saya gundah, "sesungguhnya orang selain Islam tak memiliki hak untuk hidup", padahal saya sempat membaca laa tahzan cetakan Beirut milik guru saya  dan tak menemukan kalimat tersebut.
Disinilah urgensi sebenarnya dalam kitab kuning, bagaimana kita bisa memahami perbedaan pendapat, bagaimana kita menelisik makna kata secara menyeluruh tanpa harus melewati "tangan yang berkepentingan" dengan memanjakan kita melalui terjemahan.
Kitab kuning tak melulu soal agama, bapak pembuluh darah, William Harvey ternyata banyak belajar menggunakan manuskrip (kitab) karangan Ibnu Sina tentang peredaran darah. Pun demikian dengan percobaan Sir Isaac Newton yang ternyata telah didahului oleh Ibnu Khaldun. Pun ada Louis Pasteur yang terkenal dengan teori mikroba, padahal itu telah dituangkan dalam kitab kehidupan karangan Aaq Syamsuddin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H