Dalam ilmu pragmatik khususnya tindak tutur ilokusi yang harus diamati atau dilihat adalah bentuk keseluruhan percakapan / dialog sehingga menjadi satu kesatuan makna yang sempurna, begitu pula sebaliknya jika dialog itu hanya dilihat bagian perbagian saja maka tidak akan mendapatkan satu kesatuan makna yang berterima karena tidak dilihat / didengar secara utuh sehingga menimbulkan tafsiran-tafsiran tertentu (multimakna).
Peristiwa semacam itu tidak bisa dikategorikan sebagai delik. Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana (KBBI, 2008:308). Delik aduan adalah pelanggaran (perbuatan tindak pidana) berupa penghinaan (fitnah atau defamasi) yang dilakukan secara tertulis atau lisan terhadap nama seseorang dan dapat dituntut di depan pengadilan jika ada pengaduan dari yang merasa dirugikan nama baiknya. Â Maka delik aduan hanya dapat dituntut / digugat jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan (korban).
Berdasarkan keterangan yang bersangkutan dalam hal ini presiden Joko Widodo sebagai seorang pemimpin yang dikritik oleh Rocky Gerung tidak melaporkan dan hanya ditanggapi dengan biasa saja dan hanya fokus bekerja. Artinya, presiden Joko Widodo tidak menanggapi negatif bahkan tidak ada niat untuk menuntut warganya yang memprotes kebijakannya. Karena sejatinya seorang pemimpin atau pejabat publik harus siap dan benar-benar siap menerima semua kritik baik yang lembut maupun yang kasar sebab masyarakat telah memberikan fasilitas yang baik untuk pemimpinnya maka wajar jika masukan dan kritikan selalu ada bagi mereka demi kebaikan bersama dan yang pasti tidak menghina secara personal / individu (di luar kapasitas sebagai pemimpin/pejabat).
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan memerintahkan untuk tidak mengatur kembali delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dalam RKUHP. Menghidupkan kembali delik penghinaan presiden/wakil presiden dianggap tidak sesuai dengan tujuan akhir atau utama kebijakan hukum pidana, yaitu melindungi masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pendapat Reksodiputro dalam putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan kepentingan negara tidak dapat dikaitkan dengan pribadi presiden (dan wakil presiden). Masyarakat akan merasa terkekang untuk mengkritisi kinerja pemerintah dengan keberadaan Bab II KUHP tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden/Wakil Presiden. Pemerintah dan DPR tidak mempunyai argumentasi hukum yang kuat untuk menghidupkan kembali delik penghinaan terhadap presiden/wakil presiden, terutama dalam hal mempersonifikasikan presiden/wakil presiden dengan negara. Karena menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013- 022/PUU-IV/2006, presiden dan wakil presiden tidak boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Pembatasan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya dalam menyampaikan pendapat harus sangat hati-hati, karena negara membatasi hak asasi manusia yang merupakan hak sipil, yaitu hak asasi manusia dalam menyampaikan pendapat. Hak tersebut dimaknai sebagai kebebasan individu dari campur tangan orang lain, khususnya negara.
Dapat disimpulkan bahwa dari segi linguistik forensik, pernyataan yang disampaian Rocky Gerung pada forum beberapa waktu lalu tidak dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran. Bahwa, jika dilihat dari dialog / percakapan secara utuh terlihat bentuk tindak tutur ilokusi dari Rocky Gerung yang memiliki intent / niat dan maksud agar masyarakat berpikir kritis dan bijak dalam menanggapi suatu kebijakan pemimpin, bukan sebaliknya ingin mengkritik atau menghina pemimpin secara pribadi / individu.
(Jakarta, 07 Agustus 2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H