Mungkin saat itu tak ada satupun pejabat Tibet yang menyadari, bahwa niat China menawarkan pinjaman kepada Tibet tidaklah semesra sebutan yang diberikan, China menyebut Tibet sebagai "saudara tua". Dengan lugu Tibet menerima tawaran pinjaman sangat lunak itu ( bahkan sebagian besarnya dihibahkan ). Jadilah Tibet bergeliat dengan pembangunan ekonominya, proyek-proyek berskala "mega" mencuat disana-sini, ekonomi tumbuh secara signifikan. Rakyat Tibet terlihat seperti menemukan "turning point", titik balik dari kemiskinan, keterbelakangan dan ketidak-modern-an selama ini menuju kemakmuran, kemajuan dan modernisasi. Setidaknya untuk sementara waktu.
"Tak ada makan siang gratis", mestinya rakyat Tibet tidak melupakan "falsafah politik" itu. Tidak banyak memang ( kelihatannya ), China hanya minta agar Tibet mengijinkan 10 ribu penduduknya bekerja di proyek-proyek mega tersebut yang tentu saja dengan jangka waktu tertentu. Lagi pula Tibet kan belum memiliki cukup tenaga terampil untuk menyelesaikan proyek-proyek mega tersebut, begitu kata China. Tibet pun menganggukkan kepala.
Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa warga China yg masuk ke Tibet bukan personel militer atau bahkan intelijen ? Segera setelah itu, China mempersenjatai 10 ribu warganya yang sudah berada di Tibet. Kekuatan militer dan polisi Tibet yang masih minim saat itu dengan mudah ditundukkan. China sukses meng akuisisi ( baca " kudeta " ) Tibet. Dalai lama terus melakukan perlawanan, meski dalam "kesunyian".Â
Kini, faktanya, hutang negara kita saat ini sudah mencapai 5000 triliun hanya dalam waktu 2 tahun terakhir dari 3000 triliun ( naik 2000 triliun hanya dalam 2 tahun ). Siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu kepada kita ? Tentu saja sebagian besarnya China yang menyebut Indonesia sebagai " saudara muda " nya, dengan jaminan 3 bank yang kita bangga-banggakan ; BRI, BNI dan MANDIRI.. Dan juga tentu saja dengan sedikit "permintaan" agar kita menerima sedikitnya 10 juta ( bukan hanya 10 ribu  ) tenaga kerja kasar dari China, dan seperti Tibet, kita pun menganggukkan kepala.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H