Mohon tunggu...
J. Alamsyah
J. Alamsyah Mohon Tunggu... profesional -

a cup of coffee life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tukang Patri

10 Desember 2010   19:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:50 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun usianya sudah cukup lanjut, langkahnya masih terlihat tegap meski sesekali tampak sempoyongan. Bapak tukang patri (penambal alat-alat masak yang terbuat dari logam seperti panci, wajan dsb) itu menurunkan beban pikulan dari pundaknya, isinya peralatan untuk menambal logam. Setelah mencuci kaki di tempat wudhu, karena tidak mengenakan alas kaki, beliau menyandarkan tubuhnya pada tiang di serambi Musholla belakang rumah kami. Keletihan jelas terlihat dari wajah beliau, perlahan aku mendekat. Kuulurkan tangan mengajaknya bersalaman, tangannya keras dan kasar.

"Istirahat Pak ?". Sapaku

"Iya nak". Jawab beliau singkat tapi ramah dengan senyum di wajahnya, meski agak dipaksakan karena keletihan.

"Sudah keliling kemana saja Pak?". Tanyaku

"Yah...kemana saja nak, asal ada kampung bapak masuk keliling disana. Selama bapak masih kuat, ya terus berkeliling seperti ini". Jawab beliau agak panjang sambil membetulkan posisi duduknya.

"Sudah lama Pak ? keliling seperti ini ?". Tanyaku

Sambil sedikit menggeser posisi duduknya, menghadap ke arahku, lalu menjulurkan kedua kakinya beliau menjawab pertanyaanku, "Wah...bapak tidak ingat sudah berapa lama jadi tukang patri keliling nak, mungkin 15 atau 20 tahun, yang bapak ingat dulu jalan-jalan belum seramai ini, masih banyak pepohonan dipinggir jalan dan belum banyak rumah-rumah seperti sekarang. Dan yang jelas dulu anak bapak masih kecil-kecil, sekarang sudah berkeluarga semua".

"Berapa anak bapak ?". Tanyaku

"Tiga nak, dua laki-laki dan seorang perempuan. Alhamdulillah semuanya sudah mentas dan mendapat pekerjaan yang baik". Jawab beliau dengan rasa bangga meski begitu aku tak merasakan adanya kesombongan dalam ucapannya.

"Bapak tidak tinggal bersama putra atau putri bapak ?". Tanyaku

"Ah malu nak, sebenarnya mereka berkali-kali minta bapak untuk berhenti bekerja dan tinggal bersama di rumah salah satu dari mereka. Tapi bapak tidak mau, bapak malu menjadi beban bagi anak-anak bapak. Dan yang paling penting bapak malu pada Tuhan nak, masak diberi kesehatan dan usia panjang tidak dimanfaatkan untuk bekerja". Aku tertegun mendengar jawaban beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun