Pemimpin dan segala ambisinya terkadang ingin membuat warisannya sendiri. Warisan atau yang kita kenal sebagai Legacy merupakan kebutuhan bagi pemimpin bahkan sudah menjadi kewajiban. Kampanye maupun pada debat yang dilakukan oleh calon pemimpin daerah telah membuktikan bahwa mereka ingin punya legacy yang dilahirkan ketika memimpin.
 Iuran sampah gratis, transportasi umum yang efisien, birokrasi anti korupsi dan pembangunan stadion gratis merupakan bukti bahwa seorang pemimpin bercita-cita untuk mempunyai legacy-Nya sendiri. Di periode kepemimpinan pusat sebelumnya (era presiden jokowi), menteri pendidikan yakni Nadiem Makarim punya keinginan untuk menciptakan legacynya melalui Kurikulum merdeka dan merdeka belajar.Â
Sedangkan presiden Jokowi sendiri punya ambisi untuk meninggalkan legacy yaitu IKN (Ibu Kota Nusantara) meskipun dalam prosesnya terdapat sedikit kontroversi. Disini penulis hanya ingin menyampaikan bahwa setiap pemimpin senantiasa berlomba-lomba untuk membangun legacy-Nya masing-masing.
Alih-alih menciptakan legacy, mengapa seorang pemimpin tidak berusaha untuk melanjutkan legacy yang ada. Dalam beberapa kampanye maupun dalam menghadapi pertanyaan wawancara, seringkali seorang calon pemimpin seperti gubernur mengatakan, "Bahwa kami akan melanjutkan hal-hal yang baik dari pemimpin sebelumnya." Pernyataan yang diungkapkan tersebut merupakan satu hal positif, namun jangan sampai hanya menjadi lip service semata.Â
Penulis tidak melarang agar pemimpin membangun legacy atau kekhasan selama ia memimpin. Membangun legacy dinilai salah kalau dipaksakan untuk lahir, terlebih lagi kalau membangun legacy yang justru dinilai lebih banyak mudharat yang akan dilahirkan.
Dua Pernyataan Sebelum Membuat Legacy Yang Baru
Sebelumnya saya hanya ingin menyampaikan dua pernyataan yang semoga bisa menjadi pertimbangan sebelum membuat legacy yang baru:
"Daripada membuat sesuatu yang baru, mengapa tidak melanjutkan yang ada?"
"Kalau sudah ada sesuatu yang telah baik dan berjalan, mengapa tidak dilanjutkan saja?"
Dua pernyataan yang telah saya sebutkan diatas, seharusnya bisa menjadi bahan berpikir bagi para pemimpin yang menjabat mulai dari tingkat paling bawah hingga paling atas, mulai dari dalam keluarga hingga pada pemerintah yang sedang memimpin suatu wilayah.Â
Legacy Yang Dipaksakan
Sebelumnya saya telah menyampaikan dua pernyataan yang perlu dipertimbangkan dalam membuat sebuah legacy, namun apa yang terjadi kalau seorang pemimpin memaksakan untuk punya legacy. Berikut hal yang terjadi jika seorang pemimpin memaksa untuk punya legacy tanpa mempertimbangkan dampak positif dan negatif yang ditimbulkan:
Aturan etika yang seringkali dilanggar atau diubah. Demi sebuah legacy, seseorang seringkali memaksakan kehendaknya atau berlaku sesuai keinginannya kepada orang lain. Walaupun orang lain seringkali merasa tidak nyaman dengan kelakuan pimpinannya tersebut;
Lebih banyak uang yang akan dikeluarkan. Bangunan fisik yang dinilai sebagai karya monumental dapat dinilai sebagai bentuk menghamburkan uang jika dirasa dampak negatifnya lebih banyak ketimbang dampak positifnya;
Tenaga dan waktu yang tersia-siakan Dalam menjalankan sebuah legacy, seringkali perlu sosialisasi dan waktu lebih banyak untuk memastikan legacy yang ditinggalkan dapat diterima dan dijalankan oleh setiap anggota atau bawahan.
Contoh paling nyata dalam dunia pendidikan yaitu adanya perubahan kurikulum yang seringkali terjadi setiap ganti presiden. Saya ambil contoh yang terdekat yakni kurikulum 2013 atau K-13 bertransformasi menjadi kurikulum merdeka.Â
Atau dalam bahasa saya yaitu legacy dari presiden SBY berupa kurikulum 2013 bertransformasi menjadi legacy presiden Jokowi berupa kurikulum merdeka. Perubahan kurikulum bukanlah sesuatu yang mudah karena diperlukan lagi waktu yang lama agar kurikulum tersebut dapat dipahami dan dijalankan oleh semua guru, juga memerlukan biaya yang lebih seperti mengadakan pelatihan dan sosialisasi, yang dimana biayanya tidak sedikit.Â
Dalam proses perubahan kurikulum juga seringkali ada pihak pimpinan yang memaksakan perubahan kurikulum tersebut dapat dilaksanakan dengan mengabaikan kepentingan orang lain, misalnya guru yang dipaksa oleh kepala sekolahnya untuk mengikuti berbagai pelatihan dan aksi nyata serta mengabaikan kesehatan mental dari seorang guru. Tujuan kepala sekolah tersebut yakni untuk meninggalkan legacy pada sekolah yang ia pimpin, dimana sekolahnya tercatat sebagai sekolah penggerak.
PENUTUP
Membuat atau menciptakan legacy yang baru bukanlah sebuah kejahatan atau terlarang, namun yang salah adalah ketika seorang pemimpin memaksakan diri untuk menciptakan legacy yang justru memberikan lebih banyak mudharat daripada manfaat.Â
Maka pertimbangkanlah sebelum menciptakan legacy, terkadang lebih baik melanjutkan legacy yang sudah ada daripada membuat legacy baru hanya untuk sekadar terkenal atau ingin ditahu bahwa ia pernah menjadi pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H