Mohon tunggu...
Muhammad Izzuddin Alhaq
Muhammad Izzuddin Alhaq Mohon Tunggu... Tutor - Muizz Al kayyis

Mencoba lahan baru, semoga betah dan istiqomah Pelajar, Pengajar, pengamat matur nuwun sudah mampir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Awal Garang, Sekarang Garing

19 Juli 2020   12:49 Diperbarui: 19 Juli 2020   13:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Negeri tercinta katanya masih dilanda kekhawatiran, kali ini bukan hanya masalah kesenjangan ekonomi dan mal kebijakan yang praktiknya masih berjalan hingga kini namun virus yang semua orang pikrikan sangat berbahaya *di awal munculnya, tapi sekarang dianggap sahabat. 

Dimulai awal maret terindentifikasi 2 orang Warga Negara Indonesia positif, hal ini tentu membuat gaduh warga sosmed, pemerintah, dan semua elemen masyarakat, Indonesia yang awalnya diperingatkan untuk waspada namun nasi kucing dan temulawak sebagai santainya jawaban. 

Sejak saat itu semua aktivitas di luar rumah dilarang walaupun sekedar untuk bekerja, maka seluruh instansi menutup aktivitas sosialnya lalu menggantinya dengan daring. 

Himbauan digemakan di seluruh media yang ada, semua orang bersuara untuk tetap #stayathome atau tetap di rumah, pada nyatanya diam di rumah tidak bisa disamaratakan untuk sema orang, pekerjaan ojek dan sopir misalnya tidak ada alternatif lain selain narik (mengangkut orang/barang) sehingga memaksa sebagian orang untuk keluar, maka wajar timbul anggapan sosial seperti tidak kasihankah terhadap yang terkena, apa memang tubuhmu kebal dengan virus, gimana mau maju kalau tidak bisa diatur. 

Sejatinya peran penguasa penting dalam pemenuhan kebutuhan sementara untuk jawaban atas tidak bekerja di luar rumah, nyatanya bantuan kadang tidak tepat sasaran dan terlambat sehingga kasus warga meninggal karena kelaparan terjadi.

Di penghujung april data untuk korban positif sebanyak 9.771, maka pemerintah berupaya memaksimalkan dengan mengalihkan semua kesibukan berfokus pada virus ini, proyek infrastruktur, pariwisata diberhentikan sementara untuk menlawan covid bersama, rapot bulan mei untuk kasus total sebesar 25.216 melonjak hampir 2x lipat dari bulan sebelumnya. 

Layaknya sedari awal selurun elemen bekerjasama dalam pencegahan, harusnya pembuat kebijakan menghimbau rakyat memamtuhi tetapi sebaliknya himbauan bertebaran tapi tidak diindahkan karena mungkin ketegasan dalam pelanggar tidak yang menjadikan pearturan longgar. 

Permohonan untuk lockdown wilayah sudah bertebaran, namun tidak diaminkan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang rawan, maka jawaban pemerintah adalah PSBB, yang mana beberapa instansi pelayanan umum masih dibuka untuk penunjang ekonomi daerah, tetapi tidak semua daerah diberlakukan serentak hanya daerah yang memiliki resiko besar penularan. 

Parahnya fakta menunjukan ini hanyalah formalitas pengecekan, layaknya operasi tilang yang pagi dan sore ada lainnya bebas. Hasilnya rapot bulanan pada bulan juni 56.385 maka hasil inilah tanpa disadari membuat syok siapapun yang melihatnya, segala upaya diberikan untuk kasus ini tapi hasil yang didapat jauh dari harapan, maka covid 19 sebagai stressor alami menghantui masyarakat seakan tidak akan hilang, pemerintah pun senada dengan perasan rakyatnya maka diwacanakanlah New Normal atau aktivitas yang dinormalkan dengan protokol covid 19, tentu banyak pro kontra akan kebijakan ini tetapi banyak dari mereka satu pemikiran dalam sampai kapan kita begini, karena melihat negara lain sudah normal. 

Kejenuhan tergambar pada semua kalangan yang mau lanjut sekolah, yang mau bekerja, yang mau melakukan sesuatu seakan terhalang, maka pembanding dengan negar lain dikemukakan misal Korea sudah membuka sekolah dan pariwisatanya, tapi kita kapan? perbandingan terhadap liar negeri sebenarnya tidak bisa dijadikan tolak ukur karena tidak sebanding memang, semisal pelayanan pencegahan Korea dengan mengambil langkah test masal untuk semua warganya tentunya gratis, sedang disini langkahnya masih membatasi aktivitas adapun test itu mandiri malah dibuat UU maksimal harga seakan menambah kesan test itu tidak gratsi boss kecuali ada yang positif, maka berapa banyak korban lagi untuk test masal secara gratis?

Masih teringat jelas ketika semua orang saling bahu-membahu untuk menguatkan dengan motivasi, ada yang melalui bantuan dapur umum, ada penggalangan dana, bahkan pemerintah sebagai pelayan negara membuka sumbangan dana kepada rakyat untuk korban yang terdampak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun