Mohon tunggu...
izzuddin abdul hakim
izzuddin abdul hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Nama: IZZUDDIN Kampus: FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu 2014, Senjakala Partai Islam?

25 Desember 2013   11:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak bermaksud melaporkan acara diskusi dengan tema serupa yang diselenggarakan FISIP bekerjasama dengan Ma’arif Institute beberapa pekan lalu, karena tulisan ini tidak dibikin untuk reportase acara tersebut. Hanya saja, dari beberapa daftar judul yang telah didaftar untuk melabeli tulisan ini, judul di atas adalah yang paling menarik hati penulis untuk mencatutnya sebagai judul artikel. Pemilu 2014, akankah menjadi senjakala partai Islam? Tulisan ini akan mengupasnya.

Semua kontestan pemilu, tak terkecuali partai Islam mulai meninggalkan pertarungan elektoral berbasis ideologi menuju arena konvergensi ideologi. Perebutan suara pemilih tak lagi berlandaskan politik aliran melainkan lebih pragmatis.

Penelitian berskala nasional oleh R. William Liddle dan Saiful Mujani mengonfirmasi hal itu, bahwa politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) pada pemilu 1999 berasal dari kalangan santri (Burhanuddin, 2013). Sebagaimana diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an, santri adalah penganut Islam yang taat, dapat ditebak mereka akan menyalurkan suaranya pada partai Islam.

Karakteristik Partai Islam

Dalam studi ilmu politik, karakteristik partai Islam dapat dipotret dari dua sisi, asas dan basis massa. Dari asas partai, kontestan pemilu 2014 yang terkategori sebagai partai Islam adalah PPP, PKS dan PBB. Sementara dari basis massa, maka kita dapatkan PKB dan PAN, meskipun dari asas mereka tergolong partai nasionalis.

Ada fakta unik dari perjalanan pemilu di republik ini, sejak bergulirnya pemilu 1955 hingga 2009 partai Islam belum pernah bertengger di peringkat pertama. Padahal fakta tak terbantahkan, bukan mitos, bahwa mayoritas penduduk Indonesia (83%) adalah muslim. Terjadi paradoks, partai-partai Islam selalu kandas di kandangnya sendiri ketika bertarung dalam kontestasi pemilu.

Hipotesis yang dapat dibuat dari fakta ini adalah muslim di Indonesia mengasosiasikan dirinya dengan Islam hanya dalam keberagamaan, tidak dalam hal berpolitik. Bisa ditengara, upaya monsterisasi Islam politik sejak republik ini berdiri dengan tuduhan Islam politik akan mengancam persatuan, ditambah lagi upaya kalangan ‘intelektual’ yang menjadi juru bicara bagi cap negatif terhadap Islam politik, telah membuahkan hasil.

Bukti telak yang menunjukkan kekalahan Islam (partai Islam) dalam politik dapat dilihat dari gabungan suara partai-partai Islam pada 1955 hanya sebesar 43,7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51,7% (Burhanuddin, 2013). Selama pemilu Orde Baru, akibat upaya deideologisasi, nasib suara partai Islam amat menyedihkan, pasca kebijakan fusi partai selama rentang lima kali pemilu sejak 1977 sampai 1997, suara tertinggi PPP hanya 29%. Pada pemilu 1999, jumlah keseluruhan suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK dan PKNU) adalah 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, total suara partai Islam 38,3%. Sementara pada pemilu 2009, suara partai Islam anjlok menjadi 29.2%.

Konvergensi Ideologi

Belajar dari fakta masa lalu inilah, partai-partai Islam berinovasi guna meningkatkan prospek elektoralnya. Meninggalkan gelanggang pertarungan ideologi, beranjak pada pergulatan konvergensi ideologi. Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy (1957) menguraikan bahwa konvergensi ideologi kiri-kanan berdampak pada jumlah pemilih, lebih banyak konvergensi menghasilkan kenaikan pemilih, sedangkan lebih sedikit konvergensi mengakibatkan penurunan pemilih. Karena itu, muncul partai-partai dengan wajah baru yang oleh Otto Kircheimer disebut catch-all party.

Prospek Elektoral

Dengan wajah kontestan politik yang catch-all party ini, pemilih sulit mengidentifikasi dan membedakan jenis kelamin ideologi partai. Antara partai nasionalis dan partai Islam tidak lagi memiliki diferensiasi yang signifikan dan menonjol sebagai tali emosional guna mengikat suara pemilih dari masing-masing aliran. Otomoatis, pendulang suara partai bukan lagi ideologi melainkan popularitas tokoh. Sementara dalam hal ini, di pihak partai-partai Islam belum ada tokoh populer untuk menyaingi dominasi tokoh-tokoh yang diusung partai-partai nasionalis.

Apalagi amunisi tersisa yang dimiliki partai Islam jika modal utama berupa kekuatan ideologi untuk menarik jumlah umat Islam di Indonesia yang mayoritas ini telah kabur, diperparah dengan problem tunatokoh populer di semua partai Islam. Lalu, apa yang akan menjadi bargaining politik partai Islam di kalangan para pemilih jika dalam dua hal ini (ideologi dan tokoh) partai Islam tidak memiliki daya tawar? Apakah untuk kesekian kalinya partai Islam hanya menjadi pengekor bagi kepemimpinan partai nasionalis? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab sendiri pada pemilu mendatang.

Tetapi, memang terlalu tergesa-gesa jika menarik kesimpulan saat ini. Sulit memprediksi prospek elektoral partai Islam pada pemilu 2014 nanti. Karena menurut temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 15-25 Mei 2011 menunjukkan hanya 20% pemilih yang memiliki party ID. Pemilih loyal masing-masing partai tak lebih dari 5%. Responden yang menyatakan kurang atau sama sekali tidak siap memilih sekitar 54,9% (Burhanuddin, 2013). Dominannya jumlah swing voters menyulitkan prediksi siapa yang akan tampil menjadi juara pada pemilu mendatang. Ditambah lagi dengan mood pemilih yang gampang berlabuh ke lain hati. Kita saksikan saja di pemilu 2014 nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun