Mohon tunggu...
izzuddin abdul hakim
izzuddin abdul hakim Mohon Tunggu... lainnya -

Nama: IZZUDDIN Kampus: FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Islamisasi di Tanah Jawa Melalui Penaklukan?

29 Januari 2014   12:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca buku M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) mungkin beberapa diantara para pembaca terutama yang muslim akan sedikit mengernyitkan dahi. Dalam menerangkan masuknya Islam ke Indonesia, Ricklefs di paragraf akhir bab pertama menulis;

..... pada umumnya Islamisasi dianggap sebagai sebagai suatu proses damai karena tidak ada satu pun bukti mengenai mengenai ekspedisi-ekspedisi militer asing yang memaksakan agama ini melalui penaklukan. Akan tetapi, segera setelah sebuah kerajaan Islam berdiri di Indonesia, agama Islam kadang-kadang disebarkan dari sana ke kawasan-kawasan lain melalui peperangan (Ricklefs, 2008:26).

Tentu kesimpulan ini bertabrakan dengan keyakinan masyarakat muslim Jawa kebanyakan bahwa Islamisasi di tanah Jawa oleh para wali justru dilakukan dengan cara damai, melalui akulturasi budaya lokal dengan budaya Islam sehingga dakwah menjadi mudah diterima. Metode dakwah wali songo yang dikenal dengan dakwah kultural ini sampai menjadi metode dakwah yang hingga kini dikembangkan oleh salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.

Dakwah kultural terkonfirmasi dari cerita-cerita Islamisasi di tanah Jawa yang berkembang luas di masyarakat bahwa Sunan Bonang misalnya, menggunakan media kesenian musik, bonang, dalam menyebarkan syiar Islam. Sunan Kalijaga juga memanfaatkan wayang kulit sebagai media menyampaikan risalah Islam. Dan bukti dari metode dakwah kultural yang dilakukan oleh para wali penyebar Islam di tanah Jawa ini adalah peninggalan berupa menara di komplek Panembahan Sunan Kudus yang begitu dipengaruhi oleh arsitektur budaya lokal.

Lalu bagaimana dengan kesimpulan Ricklefs dalam penelitiannya ini yang tampak bertentangan, riwayat yang mana yang dapat dibenarkan sebagai pegangan? Di sinilah domain penulis menjelaskan itu.

Mendudukkan Pendudukan

Tak dapat disangkal menurut fakta sejarah memang kerajaan-kerajaan Islam turut melakukan penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain sebagaimana data yang dikemukakan oleh Ricklefs (penjelasan lebih detail mendukung kesimpulannya ditulis di bab 4 dalam bukunya). Bahkan penaklukan yang dalam Islam dikenal dengan terminologi futuhat mendapatkan legitimasi oleh ajaran Islam. Namun tentu dengan motif, cara dan implikasi yang berbeda dengan fakta penaklukan yang kita kenal saat ini. Bagaimana konsep futuhat dalam Islam penting mendapat porsi pembahasan di sini.

Semenjak awal kekuasaan Islam di Madinah hukum jihad tidak asing di kalangan umat Islam. Dalam kitab al-Ummjuz IV halaman 161, Imam as-Syafi’i (salah satu imam madzhab yang paling banyak diikuti di Indonesia) menulis dengan redaksi:

Ketika hijrah Rasulullah saw telah berlalu, Allah swt telah memberikan nikmat kepada semuanya dengan mengikuti beliau sehingga—dengan pertolongan Allah—melalui hijrah tersebut, mereka mempunyai kekuatan dengan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Maka, Allah mewajibkan jihad kepada mereka, setelah sebelumnya hukumnya mubah, bukan wajib (Haekal, 2004: 113).

Dr Wahbah Zuhayli di dalam al-Alaqat ad-Duwaliyah fi al-Islam, mengemukakan beberapa konteks terpenting disyariatkannya hukum jihad, antara lain: Pertama, membela kaum muslim, negeri dan harta kekayaan mereka dari serangan (musuh). Kedua, menjaga kebebasan berakidah, penyebaran dakwah dan mencegah terjadinya hasutan untuk meninggalkan agama (Islam).... jika penyampaian dakwah tersebut dihalangi untuk sampai kepada sekumpulan manusia, maka tuntutan tersebut wajib diwujudkan dengan kekuatan (militer), jika kekuatan (militer) Islam memang siap (Haekal, 2004: 253).

Konsep yang demikian ini memang dikenal luas oleh ulama Islam, Abu al-A’la al-Mawdudi merumuskan jihad dalam dua macam, jihad defensif dan jihad ofensif (Haekal, 2004: 257). Memulai jihad (ofensif) adalah fardhu kifayah. Jika musuh menyerang (defensif), maka menjadi fardhu a’in bagi orang yang diserang dan fardhu kifayah bagi orang lain (Taqiyuddin, 2011: 252).

Makna memulai jihad (ofensif) bukan berarti bahwa kita harus memerangi musuh secara langsung. Tetapi musuh harus diseru terlebih dahulu kepada Islam. Tidak halal bagi kaum muslim untuk memerangi mereka yang dakwah belum sampai kepadanya. Tetapi orang-orang kafir haruslah diseru kepada Islam. Jika mereka menolak, maka mereka diwajibkan membayar jizyah. Dan jika mereka menolak, maka kita memerangi mereka (Taqiyuddin, 2011: 254). Yang menjadi lawan pun dalam Islam adalah para pasukan musuh yang melakukan penyerangan terhadap pasukan Islam, bukan penduduk sipil, wanita, anak-anak, lansia atau siapa pun yang tidak terlibat dalam perang. Jadi konflik terjadi antara pasukan dengan pasukan, bukan pasukan dengan rakyat sipil. Jadi, berbeda antara futuhat dengan pembantaian.

Tentang memulai jihad (ofensif) perlu penjelasan lebih lanjut agar tidak disalah artikan dan tergesa-gesa berkesimpulan sebagaimana barat sering menghakimi hukum jihad dengan pandangan negatif dan tidak adil. Paus Benedict XVI pada 12 September 2006 memberikan pernyataan yang profokatif;

“Show me just what Mohammed brought that was new and there you will find things only evil and inhuman such as his command to spread by the sword the faith he preached.”

Penaklukan (futuhat) baru dilakukan jika seruan dakwah mendapat rintangan, dan rintangan dalam dakwah itu tidak lain dilakukan oleh pihak penguasa. Jika seruan dakwah mendapat rintangan oleh penguasa, maka selanjutnya dilakukan kesepakatan agar negeri tempat penguasa itu bersedia membayar jizyah meskipun tidak harus menerapkan hukum-hukum Islam. Penduduk negeri tersebut adalah dzimmi dan mendapatkan jaminan keamanan dari negeri Islam. Serangan terhadap negeri yang telah membayar jizyah tersebut berarti serangan terhadap negeri Islam sehingga konsekuensinya adalah jihad terhadap pihak penyerang.

Apabila dua poin di awal terpenuhi, dirintanginya dakwah dan tidak bersedia membayar jizyah, maka barulah penaklukan dilakukan. Namun sekali lagi, realitas futuhat berbeda dalam motif, cara atau metode dan implikasinya dengan model penaklukan saat ini yang lebih tepatnya merupakan penjajahan.

Berdasarkan motifnya, futuhat dilakukan atas dasar dorongan akidah, motivasi untuk menyebarkan rahmatan lil a’lamin. Futuhat bukan atas dasar dunia dan materi (jizyah) meskipun dengan membayar jizyah oleh negeri yang ditaklukkan jihad harus dihentikan, tetapi jizyah bukanlah sebab berjihad.

Dari Musa al-Asy’ariy, seseorang mendatangi Nabi saw. dan bertanya:

”Wahai Rasulullah siapakah yang berada di jalan Allah, orang yang berperang karena ghanimah, orang yang berperang karena ingin disebut-sebut, dan orang yang berperang karena ingin dihormati kedudukannya?” Rasulullah saw. menjawab: “Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah maka ia berada di jalan Allah.” (HR.Muslim)

Lain halnya dengan motif penjajahan yang hanya mengenal keserakahan. Motif busuk penjajahan tertuang jelas dalam filosofi para imprealis; Gold, Glory and Gospel.

Begitu juga dilihat dari cara yang ditempuh, futuhat sangat berbeda dengan penjajahan. Jihad sebagai upaya futuhat memiliki hukum-hukum yang detail agar tidak melakukan serangan “seenak jidatnya”.Dalam jihad tidak diperkenankan membunuh wanita, anak-anak dan lansia yang tidak terlibat sebagai kombatan, tidak pula berlebihan terhadap musuh, misalnya sampai mencincang atau memutilasi. Di samping itu, jihad merupakan opsiterakhir tatkala seruan kepada orang-orang kafir untuk masuk Islam ataupermintaan kepada mereka untuk membayar jizyah ditolak.

Sementara itu, penjajahan menghalalkan segala cara guna merebut negeri jajahan, mulai ekspansi, dominasi militer, genosida, eksploitasi kekayaan alam, penindasan penduduk dan perkara biadab lainnya.

Perbedaan dalam motif dan cara yang ditempuh, pastilah implikasi yang ditimbulkannya pun berbeda. Penjajahan menjadikan negeri jajahan sebagai sapi perah, keserakahan dan kebuasan sang imperialis. Kita bisa melihat bagaimana penderitaan penduduk pribumi di bawah para penjajah, kemiskinan penduduk, tingkat pendidikan yang rendah, pembunuhan sistematis akibat rodi dan romusha, eksploitasi SDA habis-habisan, mengacak-acak negeri orang tanpa peduli nasib penduduknya.

Mark Curtis seorang wartawan Inggris melaporkan bahwa dari tahun 1945 saja Inggris bertanggung jawab atas kematian lebih dari 10 juta orang baik di Nigeria, Indonesia, Arab, Uganda, Chile, Vietnam dan sebagainya. Pada bulan Oktober 1952, Inggris telah memaksa ratusan ribu rakyat Kenya tinggal di kamp-kamp konsentrasi ala Nazi. Akibat kebijakan tersebut setidaknya 150.000 warga Kenya meninggal dunia.

Lockheed Martin, Boeing dan Northrop Grumman mengaku mendapatkan keuntungan yang berlipat dari invasi-invasi yang dilakukan oleh AS. Perusahaan jasa keamanan saja memperoleh keuntungan US$ 100 miliar setahun dari Irak dan Afganistan (www.khilafah.com).

Berbeda dengan implikasi dari futuhat sebagaimana dituturkan oleh sarjana barat sendiri, Maria Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, dalam bukunya The Ornament of The World (2003), ia menyatakan:

“Sebagai dzimmi, agama minoritas di Andalus masih lebih baik daripada di daerah eropa yang dikuasau Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen dilarang datang dari seluruh eropa ke Andalus untuk menikmati toleransi dalam pemerintahan Islam.”

Karen Armstrong, A History of Jerusalem; One City Three Faiths (1997):

“Saat kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambilalihan dan tidak ada usaha memaksa penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam.”

Philip K Hitti, sejarawan dari Princetton University menulis dalam History of Arab terkait penaklukan orang-orang Islam ke Spanyol.

“Masyarakat Kristen mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan kepercayaannya dan mengikuti hukum Kristiani yang tidak melibatkan umat Islam. Penaklukan tersebut juga menghancurkan hegemoni kelas atas termasuk para bangsawan dan pendeta yang sebelumnya memiliki hak-hak istimewa, memperbaiki kondisi kelas bawah dan mengembalikan hak properti tuan tanah Kristen yang sebelumnya tidak diakui ketika bangsa Gotik Barat berkuasa.”

Singkat kata, futuhat dalam Islam tidak membedakan antara negeri penakluk dengan negeri yang ditakluk, sedangkan dalam penjajahan justru ada jurang pemisah antara negeri penjajah dengan negeri jajahan.

Mendudukkan Dakwah Kultural

Dalam konteks penaklukan, dakwah kultural yang dilakukan para wali dapat dipandang sebagai upaya dakwah awal untuk mengajak para penduduk memeluk agama Islam. Karena tidak mungkin penaklukan terjadi sebelum adanya dakwah. Dakwah yang dilakukan pun tidak lewat paksaan, melainkan melalui pendekatan yang kreatif dan menyentuh masyarakat namun tetap dalam koridor Islam, tidak singkretis. (lebih jauh tentang metode dakwah para wali akan disusul dalam tulisan berikutnya).

Sayangnya Ricklefs tidak mengaitkan penaklukan dengan dakwah kultural dalam Islamisasi tanah Jawa, apakah dakwah selalu mengawali proses penaklukan atau dakwah dilakukan pasca penaklukan terhadap para penduduk suatu negeri yang ditaklukkan. Perlu penelitian lebih jauh tentang ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun