Pada tanggal 8 Desember 1965 di Batu, kabupaten Malang, terlahir sesosok pejuang kebenaran yang dibanggakan oleh ibu pertiwi melalui perantara sepasang malaikat tak bersayap bernama Said Thalib dan Jamilah yang membawa sang pahlawan yang bernama Munir Said Thalib. Munir merupakan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang namanya tak pernah hilang dalam kehidupan bermasyarakat di Tanah Air. Munir membongkar ketidakadilan mulai dari skala kecil hingga besar. Rentetan kasus tersebut diantaranya Araujo yang memberontak melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1992, Aktivis buruh wanita, Marsinah yang dibunuh oleh kemiliteran pada tahun 1994, dan bergabung dengan kelompok advokasi SMPN 56 yang tergusur oleh Pemda, pada tahun 2004. Beliau juga mendirikan sebuah lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (kontraS) dan Imparsial.
Peristiwa ini bermula saat Munir mengudara menggunakan pesawat Garuda Indonesia bertipe GA-974 dengan tujuan Amsterdam, 7 September 2004. Munir dilaporkan sakit dan sering memasuki toilet pesawat sepanjang perjalanan. Dalam pesawat tersebut ada penumpang yang berprofesi sebagai dokter dan memberikan pertolongan pertama kepadanya. Namun na'as dua jam sebelum pesawat mendarat Munir telah menghembuskan nafas terakhirnya. Dugaan pembunuhan dikuatkan bukti ditemukannya senyawa arsenik setelah autopsi oleh polisi Belanda yang dikeluarkan pada 12 Nopember 2004 dan dikonfirmasi oleh POLRI.Â
Dalam kasus yang tergolong pelanggaran HAM berat, kasus munir berhak mendapatkan sorotan dari pemerintah. Peran media dalam mengutarakan opini tentang kasus ini membludak baik dalam media cetak maupun media massa yang tidak bosan-bosannya terus menyuarakan keadilan yang hampir kadaluarsa ini. Upaya pencarian dalang pembunuhan pembela HAM Munir, yang terjadi 17 tahun silam, dikhawatirkan akan terhenti karena dalam setahun kedepan kasusnya akan kedaluwarsa. Tuntutan perkara dengan penjara semur hidup atau ancaman hukuman pidana mati akan kedaluwarsa setelah 18 tahun, pernyataan tersebut merupakan sesuai dengan KUHP. Hal ini akan memuat kasus ini masuk kedalam kategori pembunuhan berencana biasa dan mengisyaratkan upaya pengungkapan aktor utama kasus pembunuhan Munir berakhir pada tahun 2022,Â
Dalam kasus Munir terdapat beberapa nama yang dijadikan tersangka diantaranya yakni Pollycarpus dan Muchdi PR. Pollycarpus merupakan seorang pilot yang bertugas dimaskapai Garuda Indonesia dan Muchdi PR merupakan seorang yang menjabat sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN). Keduanya sering dikaitkan dalam pembunuhan Munir dikarenakan mereka berdua telah melakukan interaksi melalui panggilan telepon sebanyak enam belas kali sebelum kematian Munir terjadi
Keberangkatan Munir menggunakan maskapai Garuda Indonesia saat itu diikuti oleh Pollycarpus yang seharusnya sedang mengambil cuti menuju Belanda dengan transit ke Singapura, ketika hidangan disajikan, sang pilot ini mendatangi kursi munir dan menaburi racun berupa Arsenik. Arsenik organik paling sering digunakan dalam pembuatan insektisida atau pengusir serangga dan herbisida atau pengusir gulma. Untuk arsenik anorganik dalam kadar rendah dapat ditemukan didalam air, tanah, tembaga, dan bijih timah.
Zat arsenik organik seharusnya tidak beracun bagi manusia, kecuali jika takarannya dalam jumlah yang besar. Akan tetapi arsenik anorganik sangat berbahaya untuk tubuh manusia dan bisa menyebabkan keracunan. Gejala keracunan arsenik meliputi diare, mual, muntah, nyeri perut, kram otot dan perubahan warna kulit. Ketika Munir menjamu hidangan tersebut, beliau menerima reaksi yang persis dari akibat racun arsenik yaitu bolak-balik masuk kamar mandi pesawat dan mendapatkan pertolongan pertama dari penumpang pesawat yang berprofesi sebagai dokter. Namun apa yang diharapkan dalam pertolongan di udara yang notabennya bukan tempat yang tepat untuk menangani penyakit ini menyebabkan nyawa Munir tak tertolong sebelum pesawat menyentuh landasan pacu. Â
Muchdi PR sempat ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan berencana. Melalui penelusuran TPF, terdapat 16 kali komunikasi antara Muchdi dengan Pollycarpus. Saat bersaksi di persidangan, keduanya membantah dugaan tersebut. Hal ini diduga didasari oleh motif sakit hati penurunan pangkat dari KOPASSUS sehingga rasa ingin menyingkirkan Munir tumbuh dalam benaknya. Namun dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008, Muchdi PR dinyatakan berhak bebas murni dari seluruh dakwaan jaksa penuntut. Namun hakim membantah seluruh dugaan sebagai bukti kuat, tak terkecuali bukti jejak digital komunikasi antara kedua tersangka.
Untuk Pollycarpus dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dikarenakan terduga sebagai aktor pengeksekusian racun dalam hidangan Munir ketika di pesawat, namun apadaya majelis hakim hanya menetapkan hukuman vonis 14 tahun pada desember 2005. Pengajuan keringanan dilontarkan oleh tim Pollycarpus bertubi-tubi dengan bermodalkan berkelakuan baik selama masa tahanan hingga pada 8 November 2014, Pollycarpus mendapat status bebas bersyarat dari lapas Sukamiskin, sebelum kemudian dinyatakan bebas murni pada 29 Agustus 2018.
Pertanyaan muncul bertubi-tubi tentang mengapa Munir dibunuh belum terungkap. Sang istri Munir, Suciwati, mengharapkan Pollycarpus bersikap 'jujur'. Suciwati meragukan Pollycarpus dengan segala argumennya.
Beliau hanya menginginkan sikap kejujurannya dalam sifat dan perbuatan ketika dimintai keterangan tentang pelaku pembunuh sang suami, Suciwati menilai bahwa sikap pengadilan tidak sesuai realita dan pesan yang disampaikan dari kepolisian menuai kebohongan dalam setiap pernyataannya.Â
Pertanyaan mengapa Munir dibunuh masih dipertanyakan hingga salah satu tersangka kuat, Pollycarpus wafat pada 17 Oktober 2020.
Dengan adanya kasus yang masih 'menggantung' tanpa ada tindak lanjut yang lebih marginal dari pihak penyidik dalam menindaklanjuti kasus ini, sudah saatnya kita para penerus bangsa menyalakan tekad api yang diharapkan bisa menyambar pihak terkait untuk mulai serius menuntaskan kasus ini. Dalam jasanya yang begitu besar untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia, jiwa-jiwa munir pasti akan terus hidup dalam sanubari masyarakat Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H