Di bulan April 1952, sebuah simposium tentang "Kesulitan Era Transisi Sekarang" diadakan di Jakarta. Seminar ini memperkenalkan berbagai krisis, seperti “krisis Akhlak”, “krisis ekonomi” dan berbagai krisis lainnya. Pada tahun 1953 diadakan simposium sastra Indonesia di Amsterdam, termasuk pembicaranya yaitu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lainnya.
Diskusi pertama tentang “kemacetan” dan “krisis sastra Indonesia” yang disebabkan oleh kegagalan revolusi Indonesia dimulai di sini, tetapi ketika majalah Konfrontasi muncul, pertanyaan tentang krisis baru ini menjadi topik perbincangan hangat pada pertengahan tahun 1954.
Edisi pertama majalah ini menampilkan artikel Soejatmako bertajuk “Mengapa Konfrontasi”. Dalam artikel ini penulis memperjelas bahwa sastra penulis sedang dalam krisis.
Soejatmoko berkata sastra Indonesia sedang dalam krisis sebab hanya cerpen-cerpen kecil yang ditulis "berlingkar berputar sekitar psikologisme individu semata" tidak ditulis tentang roman-roman akbar.
Karangan Soejatmoko menerima reaksi yang luar biasa, terutama di dunia sastra itu sendiri, seperti: Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, serta lain-lain.
Demikian pula dalam sebuah simposium sastra H.B. Jassin mengajukan ide yang bertajuk "Sastra Indonesia Modern Tidak Ada Krisis" dan dengan bukti dokumentasi yang lengkap, Jassin juga menolak menyebut krisis atau kebuntuan dalam kehidupan sastra Indonesia.
Dalam sebuah artikel bertajuk “Situasi Tahun 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari tahu latar belakang munculnya nama “Kebuntuan Sastra Indonesia” yang baginya tidak lebih dari “tungau” (hanya barang dagangan).
Menurut Nugroho, asal mula mitos ini adalah pasifisme yang menyebar di kalangan orang-orang tertentu pada masa pasca-kedaulatan. Selain itu, Nogroho melihat kemungkinan kelompok “Retak Tua” tahun 1945 mengalami masa keemasan sekitar tahun 1945, dan pada periode setelah tahun 1950 mengalami kemunduran.
Sitor Sitomurang mengungkapakan pandangannya dalam artikel H.B Jassin yang bertajuk “Krisis” di Majalah Mimbar Indonesia bahwa tidak ada krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor menyimpulkan bahwa krisis yang terjadi adalah krisis dalam diri Jassin sendiri karena ukurannya yang belum matang.
Tinjauan Pustaka
Erowati, Bahtiar. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ilustrasi sumber : winnetnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H