"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur" (QS Al A'raf : 58). Demikianlah Allah memberi perumpamaan mengenai generasi. Generasi gemilang hanya akan lahir dari keluarga yang mendukungnya menjadi hebat terutama akan lahir dari ibu-ibu peradaban. Tanaman yang subur berasal dari tanah yang baik. Tidakkah kita melihat peran besar yang Allah anugrahkan kepada para muslimah? Bukankah Allah menciptakan laki-laki dan wanita tidaklah hanya sekedar penciptaan yang main-main (QS. 23 : 115) tanpa tujuan?
Sesungguhnya Islam telah memuliakan wanita baik sebagai ibu, istri, gadis, saudari maupun sebagai seorang anak. Penghargaan Islam terhadap wanita yang sedemikian rupa menunjukkan bahwa wanita adalah bagian dari umat bahkan posisi wanita tak ubahnya sebagai "jantung" umat. Apabila "jantung" tersebut sehat, sehatlah umat begitu pula sebaliknya. Hal ini banyak disadari oleh musuh-musuh Islam sehingga banyak cara dilakukan untuk menghancurkan Islam melalui wanita. Sebagaimana dikutip dari perkataan seorang misionaris wanita Anna Mulgan, "Tidak ada cara yang lebih efektif dalam menghancurkan Islam selain mengajarkan kebudayaan kita kepada para pelajar muslimah di sekolah-sekolah. Penghancuran Islam dengan cara ini akan mencetak seorang pelajar muslimah yang telah terkontaminasi dengan nilai-nilai Barat sehingga akan hilang nilai keislaman dalam dirinya terutama yang terkait dengan haram, rasa malu, dan akhlak mulia. Salah satu cara yang efektif adalah mendidik wanita muslimah untuk bersolek saat bepergian".[1]
Tidak dapat dipungkiri, wanita lebih khusus muslimah memiliki keistimewaan peran dan fungsinya dengan penegakan Dinullah (QS.9 : 72). Muslimah memiliki peran unik dan spesifik yang tak tergantikan walaupun dengan kaum adam sekalipun. Keberadaan wanita dalam Islam yang begitu sempurna ini tidak dijumpai dalam agama lain.
Secara azasi laki-laki dan wanita adalah dari jiwa yang satu, keduanya memiliki kedudukan yang sama, sama-sama diberikan beban di pundaknya berupa hak dan kewajiban dari Alloh SWT (QS. 57 : 12, 4 : 24, 16 : 97, 40 : 40, 3 : 139, 7 : 28, 47 : 19, 33 : 35, 57 : 18, 9 : 22, 48 : 5, 33:36, 49 : 11 ). Hanya saja peran dan fungsinya di masarakat disesuaikan dengan perbedaan fisik dan psikisnya.[2]
Kedudukan wanita dalam Islam memegang peran strategis yang dengannya ditentukan bagaimana gambaran sebuah negara. Rasulullah SAW bersabda,"Wanita adalah tiang negara, apabila baik wanita maka baiklah negara dan apabila rusak wanita maka rusaklah negara". Ada tiga peran yang sangat mulia yang dapat dilakukan muslimah sebagai wujud rasa syukur pada Allah atas segala potensi yang ada. Peran tersebut adalah peran sebagai mar'atus shalihat (wanita yang shalih). "Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah" (HR.Muslim). Kemudian memasuki fase selanjutnya peran muslimah bertambah menjadi jauzatu muthi'ah (istri yang shaih), dan jika akhirnya ia telah memiliki generasi penerus maka peran muslimah memikul peran selanjutnya yaitu sebagai ummul madrasah, pendidik pertama dan utama untuk menciptakan anak yang shalih.
Arus penurunan nilai yang terjadi sedikit banyak melunturkan banyak nilai yang semestinya menyatu erat dalam diri muslimah. Isu kesetaraan gender, feminisme, emansipasi, serta isu lainnya yang mengatanamakan peningkatan kedudukan wanita, mau tidak mau harus dituliskan justru semakin menurunkan wanita dari fitrahnya. Wanita shalih tergeser nilainya berdasarkan indikator gender sebagai wanita yang terkurung dalam ketaatan agama yang konvensional, istri yang taat dianggap telah direbut haknya oleh suami mereka dan hidup dalam jeruji rapat perintah suami. Selanjutnya, ibu yang mendidik anaknya sesuai peran sebagai ummul madrasah dianggap telah dipaksa melepas keinginan mereka untuk mengaktualisasikan diri di dunia kerja misalnya. Globalisasi telah menolong kaum wanita untuk masuk ke sektor publik meninggalkan sektor rumah tangga sebagai sebuah konsekuensi yang tidak terelakkan lagi saat ini sebagai akibat dari ajaran emansipasi yang salah.
Islam telah memberikan hak-hak kepada kaum wanita yang sebelumnya hak-hak tersebut diabaikan begitu saja. Islam telah menyelamatkan bayi perempuan dari pembunuhan orang tuanya, Islam pula yang memberi hak waris pada wanita dan kekuasaan penuh dalam penggunaan harta yang dimilikinya. Dalam dunia ilmu pengetahuan, Islam menyetarakan hak wanita dalam menuntut ilmu sejajar dengan laki-laki. Dalam peperangan sekalipun, Islam menempatkan wanita sebagai mitra laki-laki (dengan seizin suami atau walinya). Akan tetapi jika musuh datang menyerang, Islam mewajibkan muslimah untuk keluar membela tanah air dan kehormatannya tanpa harus seizin suami atau walinya.
Demikianlah Islam begitu adil menempatkan muslimah sesuai potensi kebaikan dan kelemahannya. Islam telah memberi hak-hak istimewa pada muslimah, Islam juga menganugrahkan kepada muslimah kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab sesuai dengan hak yang diterimanya. Tanggung jawab yang pertama kali diemban tentu saja tanggung jawab atas diri sendiri, ibadahnya, lalu sampai pada tanggung jawab atas keluarganya. Oleh karenanya, memerankan fungsi berurutan sebagai mar'atush shalihat, jauzatu muthi'ah, dan ummul madrasah sejatinya bukan sebuah penindasan hak kaum wanita namun adalah cara terbaik memuliakan wanita.
Tiga peran muslimah yang telah diuraikan di atas tidak berarti menghalangi muslimah untuk tampil ke permukaan dan masuk dalam kancah sosial melakukan kegiatan-kegiatan yang positif dan konstruktif. Hal ini semata-mata karena muslimah sesungguhnya memiliki dunianya sendiri (selain medan kehidupan yang beririsan) yang menuntut penanganan spesifik. Kehidupan yang seutuhnya mengajarkan adanya peran-peran total di seluruh sektor, mulai dari peran kerumahtanggaan sampai peran pendidikan bahkan dalam perjuangan da'wah.[3]
Itulah peran-peran yang sesungguhnya dimainkan pula oleh para shahabiyah dalam menjalani kehidupan yang penuh perjuangan. Dari siroh kita belajar bahwa mereka juga menjalankan peran-peran strategis. Dalam perencanaan penempatan pasukan, misalnya, muslimah ditempatkan pada tempat yang sesuai dengan fitrahnya, di belakang.. Namun, pada saat-saat genting, Rasul tidak melarang muslimah untuk mengambil peran-peran penting, bahkan meski itu mengambil tempatnya para sahabat. Contohnya adalah Nasibah Al- Mazniyyah, pejuang muslimah pada Perang Uhud.[4]
Untuk menjadi wanita yang shalih, tahap pertama dalam peran penting muslimah yang perlu dilakukan adalah melakukan perbaikan diri. Muslimah harus mempersiapkan dirinya di tengah arus globalisasi dan kompetensi untuk memiliki kepribadian yang setara dengan yang diharapkan oleh Islam.[5] Pembinaan rutin adalah jawabannya karena melalui pembinaan rutin muslimah dipersiapkan aspek spiritual, intelektual, materi. "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (At-Tahrim: 6)
Melalui proses pembinaan rutin inilah proses penumbuhan, pengembangan potensi, penjagaan fitrah muslimah berlangsung, penyiapan untuk tahap selanjutnya menjadi istri yang shalih dan ibu generasi. Melalui proses pembinaan rutin inilah muslimah dapat siap menampakkan identitas kemuslimahannya namun juga tidak tertinggal arus globalisasi dan kompetensi karena disinilah akselerasi potensi terjadi. Proses ini juga yang telah ditempuh oleh para ummul mu'minin dan shahabiyah terdahulu sehingga wajarlah jika lahir sosok-sosok tangguh yang telah kokoh pijakan aqidahnya serta luar biasa amal nyatanya.
Memasuki fase selanjutnya, muslimah beranjak memerankan fungsinya sebagai istri dan ibu generasi. Pada fase ini pun pembinaan rutin tidak boleh terlepas sebagai suatu sarana akselerasi potensi. Menurut Sukmaningrum, ibu yang memiliki aqidah yang kuat akan memiliki keyakinan bahwa anak adalah amanah Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Ibu yang seperti ini akan menggembleng anaknya dengan keimanan yang kokoh sejak kecil, memperkenalkan pada anak siapa penciptanya, menghindarkan anak dari segala bentuk kesyirikan dan mengajarkan anak untuk tunduk patuh pada aturan pencipta, sehingga anak memahami hakekat dan tujuan kehidupannya.[6]
Adapun solusi praktis untuk membumikan fungsi ibu sebagi pendidik pertama dan utama saat ini adalah mengajak mereka, para ibu yang berkualitas untuk kembali ke rumah walaupun memiliki pilihan untuk bekerja atau beraktivitas yang dapat menuras waktunya selain pada buah hatinya. Cara terbaik mencetak anak berkualitas adalah mengembalikan fitrahnya sebagai seorang ibu yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak-anaknya karena sejatinya walaupun ibu memiliki kesibukan di luar rumah peran pertama dan utama sebagai pendidik anak tidak boleh terabaikan.
Terlalu banyak contoh muslimah teladan diberbagai sektor kehidupan, mereka telah berhasil menunjukkan eksistensi diri mereka sebagai muslimah tanpa tergilas arus globalisasi dan kompetensi. Adapun diantara mereka yang tercatat sebagai istri yang shalihat adalah Khadijah binti Khuwailid, Asma' binti Abu Bakar, dan Fatimah binti Muhammad. Melalui tangan-tangan ibu pendidik generasi-lah akan lahir sosok-sosok serupa dengan Khalifah Umar bin Abdul 'Aziz seorang khalifah yang mampu menjalankan amanahnya sebagai seorang pemimpin dengan baik, Imam Syafi'i atau Imam Al Bukhari seorang ahli hadits terkenal. Sebagai pendidikgenerasi yang sukses diantaranya Ummu Haritsah, Asma' binti Abu Bakar, dan lainnya. Muslimah yang sukses mengambil lahan sosial sebagai arena da'wahnya adalah Ummu Usaid, Ummu Syuraik, Fatimah binti Qais. Muslimah yang tampil di bidang kesehatan diantaranya adalah Ummul 'Ala' dan Asy-Syifa binti Abdullah sedangkan di bidang ekonomi diantaranya Ummu Mubasysyir, Khadijah binti Khuwailid, Zainab istri Abdullah bin Mas'ud, Asma binti Makhrabah dan Zainab binti Jahsy. Bidang politik pun tak terlupakan sebagai daerah garapan muslimah diantaranya Ruqayah binti Muhammad, Sahlah binti Sahal dan Ummu Habibah.
Jika muslimah sebelum kita dapat berprestasi pada berbagai bidang tanpa meninggalkan cacat dalam urusan pribadi dan keluarganya, maka apakah ada alasan bagi kita untuk tidak berusaha melakukan hal serupa? Mari, akselerasi diri dalam peran sebagai mar'atush shalihat, jauzatu muthi'ah, dan ummul madrasah, lebarkan sayap-sayap kebermanfaat pada bidang kompetensi. Jika sudah demikian, apakah ada sebutan yang lebih baik dari "sebaik-baik perhiasan" untuk disandingkan pada muslimah?
"Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun". (An-Nisa: 124)
[1] Saliim, Muhammad Ibrahim., 2002, Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah. Jakarta: Gema Insani Press.
[2] NN A. Peran Muslimah Mujahidah. Shufful-islam.com. Diunduh 6 Desember 2010
[3] Takariawan, Cahyadi, dkk., 2008. Keakhwatan 2: Bersama Tarbiyah Mempersiapkan Akhawat Menjadi Daiyah. Solo: Era Media.
[4] Yusroh, Yoyoh. 2003. Peran Muslimah itu Strategis dan Kontributif. Diunduh dari http://www.pks-jaksel.or.id/Article25.html tanggal 6 Desember 2010.
[5] Log. cit
[6] Sukmaningrum, Retno. 2010. Peran Muslimah dalam Mewujudkan Generasi Berkualitas. Diunduh dari www.syariahpublications.com tanggal 6 Desember 2010.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H