Mohon tunggu...
izzatul isma
izzatul isma Mohon Tunggu... Full Time Blogger - membaca adalah melawan,menulis adalah implementasi dari bacaan

dalam belajar cobalah seperti pohon dan angin serta seperti jejak kaki dan tanah,selalu menemukan makna disetiap pertemuan dan perjuangannya meskipun selalu sulit untuk abadi bersama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rasisme: Menelisik Kembali Isu Rasisme di Negara Sendiri

23 Juni 2020   20:04 Diperbarui: 23 Juni 2020   21:17 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan yang ada di Papua sudah lama sekali terjadi. Kasus demi kasus terus berdatangan dengan tingkat penanganan hukum yang sangat minim diberlakukan. Sehingga, hal tersebut menimbulkan konflik berkepanjangan, mulai dari diskriminasi, rasisme, hingga militeristik. 

Tatkala harus berhadapan langsung dengan aparat, rakyat papua sering kali mengorbankan nyawanya demi sebuah kesetaraan hak serta harga diri sebagai manusia. Pelbagai kasus terus terjadi, namun dimata hukum permasalahan ini hanyalah dianggap sepele semata. 

Isi Pancasila, Kemanusiaan Yang adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah tulisan pajangan diatas dinding kelas dan kantor-kantor pejabat. 

Berbagai tindakan pelanggaran nilai Pancasila seringkali dihiraukan dengan dalih demi keamanan integritas bangsa. Kasus-kasus permasalahan Papua yang tidak pernah selesai, sebagai bukti bahwa jaminan mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum hanyalah ke-utopisan semata.

Kasus Pendeta Kinderman Gire 2010

Kasus pendeta Kasus Pendeta Kinderman Gire, Kasus pembunuhan Pendeta Kinderman Gire tanggal 17 Maret 2010, bermula ketika korban menunggu kiriman bahan bakar di pinggir jalan, wilayah Distrik Tingginambut, Puncak Jaya. 

Di saat bersamaan Pendeta Pitinius Kogoya juga tengah menunggu titipan minyak goreng dari Wamena. Tiba-tiba rombongan TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 756 lewat dan mendekati Pendeta Kinderman Gire, mengajukan pertanyaan seputar keberadaan senjata api, peluru dan keberadaan OPM [1]. 

Karena Pendeta Pitinius Kogoya ada di lokasi kejadian, keduanya diamankan dan dipaksa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan mereka dipisahkan hanya jarak sekitar 2 hingga 3 meter. Penyiksaan mulai dilakukan sejak pukul 15.30 WIT sampai 17.00 WIT. 

Penyiksaan itu mengakibatkan kedua wajah korban bengkak dan menghitam [2]. Kasus pendeta Kinderman Gire merupakan salah satu kasus yang sudah lama belum terungkap karena rendahnya penaganan hukum di papua. Dalam kasus yang dalam waktu dekat ini pernah terjadi mengenai kasus-kasus di papua juga masih saja berlanjut tiada hentinya.

Pembubaran Mahasiswa Papua di Surabaya

Rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Papua Surabaya pada 16 hingga 17 Agustus 2019. Persekusi mahasiswa dari apparat dan dari beberapa Ormas di asrama sebagi tanda dibukanya kembali permasalaan melawan rasisme terhadap orang-orang Papua di Indonesia. 

Berbagai video beredar luas yang berisi mengenai bentuk cacian dan tindakan represif yang dilakukan oleh pihak aparat terhadap Mahasiswa Papua. Ungkapan Rasis yakni "Monyet dan kalimat Usir Papua" yang dilakukan oleh oknum TNI AD dan sekelompok orang kemasyarakatan seperti Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam [3]. 

Pengkepungan asrama Papua tersebut tidak lain dan tidak hal sebagai kelanjutan mengenai permasalahan pembubaran diskusi publik yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua. Pembubaran aksi demonstrasi oleh Mahasiswa Papua di Jawa Timur, khususnya bagi mereka yang berada di Surabaya dan Malang. 

KontraS Surabaya mencatat bahwa semenjak tahun 2018 -- Agustus 2019 telah terjadi 8 kali aksi pembubaran yang dialami oleh mahasiswa Papua dan masyarakat yang sedang menggelar acara berkaitan dengan isu-isu Papua, pembubaran tersebut tidak jarang selalu diwarnai dengan intimidasi, perampasan, pemukulan hingga penangkapan paksa [4]. 

Tingginya eskalisi pembubaran dan penyerangan tersebut berakibat pada tingginya potensi terjadinya konflik sosial terbuka antara mahasiswa Papua dan masyarakat. Sehingga konflik terus mengalami keberlanjutan hingga sekarang. Hal tersebut menunjukkan bagaimana Keadilan Sosial serta kesamaan hak dimata Hukum belumlah terpenuhi. 

Pada  UUD 1945, Pasal 28e ayat 2 yang menyatakan bahwa: "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya" dan Pasal 28e ayat 3 yang menyatakan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat[5]. Undang-undang tersebut menjalaskan secara jelas bahwa Demonstrasi adalah suatu kegiatan yang berguna untuk menyampaikan Aspirasi rakyat dan di sahkan dan diatur oleh undang-undang.

Obby Kagoya di Yogyakarta

Pada 13 Juli 2016, terjadi kasus rasisme yang saat itu terjadi oleh Obby Kagoya, seorang Mahasiswa papua di Yogyakarta yang akan melakukan aksi Demonstrasi. Pada saat itu Obby Kagoya mendapat tindakan represif dari pihak aparat berupa tendangan, pukulan hingga penangkapan. 

Dalam momen tersebut, seorang fotografer lepas, Suryo Wibowo, mengabadikan kejadian tersebut dengan memperlihatakan Obby Kagoya sedang dinjak kepalanya dan hidungnya ditarik oleh aparat kepolisisan Indonesia [6]. 

Hal yang sangat mengejutkan lagi, setelah diadili oleh pihak kepolisian, Obby Kagoya dijadikan sebagai tersangka permasalahan tersebut. Permasalahan ini sangatlah mengejutkan serta menuai banyak respon dari berbagai kalangan. Berbagai aksi di beberapa daerah terjadi sebagai dukungan mengenai kasus yang dialami oleh Obby Kagoya.

Ferry Kombo serta 6 kawannya kena tuntutan

Ferry Kombo Ketua BEM Universitas Cendrawasih terkena tuntutan dengan tuduhan melakukan tindakan makar dalam aksi demonstrasi rasisme pada Agustus 2019 lalu. Tidak hanya Ferry Kombo, namun 6 orang kawannya yang terlibat dalam aksi demonstrasi juga dikenakan tuntutan. 

Tujuh mahasiswa yang tengah menjalani proses persidangan di PN Balikpapan adalah mantan Ketua BEM Universitas Cenderawasih Ferry Kombo yang dituntut 10 tahun penjara, Ketua BEM Universitas Sains dan Teknologi Jayapura Alex Gobay dituntut 10 tahun penjara, Hengky Hilapok dituntut 5 tahun penjara, dan Irwanus Urobmabin dituntut 5 tahun penjara [7]. 

Hal tersebut sangatlah tidak relevan dengan Undang-Undang Kebebasan Bependapat. Selain itu juga memberikan pengartian Due process of law, prinsip legalitas hukum, termasuk di dalamnya adalah adanya jaminan perlindungan hak-hak hukum setiap warga negara [8]. 

Dalam kasus yang dihadapi oleh Ferry Kombo tersebut juga melanggar RKUHP Pasal 18a Ayat 1, yaitu dalam "Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa" [9]. 

Namun dalam kasus Ferry Kombo tersebut pihal kepolisan tidak memberikan surat keterangan tugas kepada pihak terkait dan ketika diminta surat keterangan pihak kepolisian menyerahkan surat tanpa kop surat dan cat. Hal itu pula yang dinilai terjadi kecacatan administratif dalam penangkapan Ferry Kombo.

[1] Kontras, Kajian HAM KontraS Terhadap Definisi Penyiksaan di Papua,hlm.3.

[2] Zely Ariane, Pasca Drama Tolikara, (indoprogress)

[3] Suara Papua, Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Orang Papua di Persimpangan Jalan, (suarapapua)

[4] KontraS Surabaya, Pernyataan Sikap KontraS Surabaya Atas Penyerangan Mahasiswa Papua di Malang, (kontrassurabaya)

[5] Ibid.

[6]Suara Papua, Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Orang Papua di Persimpangan Jalan, (suarapapua)

[7] Odeodata H Julia, Tuntutan Jaksa Kelewat Tinggi Atas 7 Mahasiswa Tapol di PN Balikpapan Tuai Kritikan Pedas, (bogopapua)

[8] Legal Information Institute, DUE PROCESS OF LAW, (law.cornell.edu)

[9] KUHP, KUHP Pasal 16, pasal 17, pasal 18, pasal 19, pasal 20, (kuhpindonesia.blogspot)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun