Wayang Timplong adalah wayang tradisional yang menggunakan bahan dasar kayu untuk pembuatannya dan menjadi salah satu kesenian khas kabupaten Nganjuk. Wayang Timplong berasal dari desa Jetis, kecamatan Pace, Nganjuk, Jawa Timur. Wayang ini biasa dipentaskan saat berlangsungnya acara hajatan di beberapa daerah di Kabupaten Nganjuk. Pementasan wayang ini mengalami masa kejayaan pada tahun 1940-an karena pada masa itu, wayang dipentaskan selain sebagai hiburan, juga merupakan protes sosial terhadap para penjajah secara tersirat. Wayang ini dinamai timplong karena bunyi peralatan gamelannya yang "pating ketimplong" atau saling susul menyusul sehingga menimbulkan bunyi "plong plong".Â
Menurut dokumentasi Dinas Kebudayaan kabupaten Nganjuk terdapat penjelasan lain tentang asal mula nama wayang timplong dimulai pada saat pementasan oleh Eyang Sariguno untuk yang pertama kali inilah seluruh penonton terpukau dan sangat kagum sehingga keadaan sangat tenang (tintrim), sedang mata selalu memandang pada gerak gerik wayang, yang dalam bahasa jawa disebut "mlolong". Berawal dari kata-kata bahasa jawa tintrim dan mlolong ini lama kelamaan menjadi sebutan nama timlong atau timplong.
Wayang Timplong terbuat dari kayu yang relatif empuk, ringan, dan padat[1]. Seperti Kayu Mentaos. Jika dilihat secara kasat mata, bentuk dan ukuran Wayang Timplong relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan wayang-wayang lainnya.
Tidak hanya itu, pementasan Wayang Timplong hanya mengikutsertakan 5-8 orang pemain termasuk 1 dalang, 4 orang pengrawit, dan 1-2 orang sinden. Berbeda dengan Wayang Krucil yang beranggotakan 15-16 orang pemain termasuk 1 orang dalang, 1-2 sinden, dan 12 pengrawit.
Perbedaan lain antara wayang tradisional khas Kabupaten Nganjuk ini juga terletak pada tokoh pewayangannya. Jika pada wayang biasa, setiap tokoh diberi nama khusus seperti Arjuna, Rama, Shinta, Hanoman, Gatotkaca dan sebagainya, akan tetapi Wayang Timplong  tidak memiliki nama atau panggilan khusus untuk setiap tokoh pewayangannya. Hanya sosok figur perempuan yang dijuluki sebagai Sang Ratu, sosok laki-laki keturunan bangsawan yang dijuluki Panji, sosok laki-laki gagah yang dijuluki Prabu dan sosok-sosok lainnya.
Selain itu, jika cerita wayang yang biasanya menampilkan kisah- kisah terkenal seperti Mahabharata, Rama dan Shinta, dan Gatotkaca beserta teman-temannya, Wayang Timplong tidak menampilkan kisah-kisah seperti itu, melainkan tentang asal-usul daerah, legenda, cerita panji, cerita rakyat, dan cerita-cerita lama. Seperti asal usul Anjuk Ladang, Kisah Cinta Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun, Legenda Gunung Kendil dan Kisah Jaka Tirip, dan masih banyak lagi.
Namun, seiring dengan masuknya berbagai bentuk kesenian dari negara lain yang dianggap lebih menarik, nama Wayang Timplong semakin jarang didengar, apalagi dipentaskan. Pementasan wayang yang awalnya  hingga 7 kali dalam seminggu kini berangsur-angsur turun.
Hingga pada saat ini, pementasan Wayang Timplong ini hanya ditemui pada saat perayaan hari-hari tertentu dalam kalender Jawa. Hal ini bukan hanya disebabkan karena berkurangnya perminat dari Wayang Timplong ini, tetapi juga karena berhentinya regenerasi dalang dalam kesenian tradisional tersebut.
Pada tahun 2018 lalu, hanya tersisa 5 orang dalang Wayang Timplong, sementara pada tahun 2019 ini, hanya 2 orang dalang yang masih mampu mementaskan Wayang Timplong, mengarahkan opini masyarakat bahwa apabila tidak segera dilakukan upaya penyelamatan, Wayang Timplong akan terlupakan dalam waktu singkat, atau lebih buruk lagi, Wayang Timplong akan diakui sebagai kebudayaan asli daerah lain. padahal, Wayang Timplong adalah budaya murni karya anak bangsa tanpa campur tangan bangsa lain.
Wayang Timplong hampir mendekati akhir ceritanya. Diperlukan kerjasama baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam upaya pelestariannya. Upaya pemerintah sangat dibutuhkan dalam pelestarian Wayang Timplong, pihak pemerintah sendiri mengaku telah melaksanakan tanggung jawabatas pelestarian Wayang Timplong.
Berbagai pengadaan program baru dalam rangka penyelamatan Wayang Timplong pun telah dilakukan Mulai dari menyisipkan unsur Wayang Timplong dalam gerakan tari di pertunjukan tari tahunan, mengadakan pementasan Wayang Timplong di pusat taman hiburan, mengadakan pementasan saat memeringati hari jadi atau Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Nganjuk, dan masih banyak lagi.
Tapi bukan hanya tanggungjawab pemerintah, masyarakat juga mempunyai tanggungjawab dalam menjaga kelestarian Wayang Timplong, dan masyarakat merupakan unsur terpenting dalam pelestarian Wayang Timplong.
Hal ini disebabkan karena peran serta masyarakat dapat membuat nama Wayang Timplong sendiri menjadi muncul kembali di permukaan, bahkan berpeluang untuk dikenal masyarakat di daerah lainnya.
Permasalahannya, rata-rata peminat Wayang Timplong adalah orang-orang lanjut usia. Sementara generasi muda abai dengan aset budaya dan menjadi terlalu sibuk membanggakan dan memperkenalkan budaya asingkepada khalayak umum. Padahal, belum tentu budaya tersebut sesuai dengan prinsip dan nilai luhur yang terkandung dalam budaya maupun kepribadian bangsa.
Karena itulah masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama dalam rangka mengembalikan eksistensi Wayang Timplong di mata warga dunia. Jika dari sisi pemerintah telah memberikan fasilitas dan inovasi untuk pelestariannya, maka masyarakat harus ikutberpartisipasi dan ikut andil dalam upaya pelestariannya.
Tidak perlu bersusah payah, cukup tahu sejarah Wayang Timlong dan pernyataan bahwa Wayang Timplong adalah kesenian asli Kabupaten Nganjuk benar adanya.
Atau dengan datang ke pertunjukan Wayang Timplong sebagai bentuk apresiasi terhadap partisipasi setiap makhluk yang ikut serta dalam pelestarian wayang ini.
Pelestarian Wayang Timplong sangat diperlukan, karena Wayang Timplong merupakan karya anak bangsa, yang terbentuk secara murni tanpa campur tangan budaya asing. Dimana karya anak bangsa harus dihargai, dijaga, dan dijadikan pedoman bagi generasi lainnya untuk terus berorientasi maju.
Agar Wayang Timplong dan kesenian tradisional lainnya tidak punah ataupun diakui daerah lain, maka harus ditumbuhkan inisiatif dan rasa bangga di setiap warga Nganjuk, meskipun pada kenyataannya, tidak banyak yang tahu apa itu dan bagaimana pementasan Wayang Timplong sendiri. Wayang Timplong tetap jadi bagian dari hasil kerja keras dan perjuangan yang harus dilestarikan agar dapat dinikmati generasi mendatang nantinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H