Apokaliptik Islam dan Radikalisme: Pelajaran dari Kasus di Sri Lanka
Apokaliptisisme dalam berbagai agama, termasuk Islam, telah menjadi objek kajian yang mendalam, terutama dalam konteks ekstremisme. Dalam artikel "Islamic Apocalyptic Literature and Extremism: Contextual Reading of Hadiths on the Mahdi with Special Reference to Sri Lanka" oleh Mohammad Ismath Ramzy, Rahimi Md Saad, dan Rohan Gunaratna, dibahas bagaimana literatur apokaliptik Islam, khususnya hadits-hadits tentang Mahdi, disalahgunakan oleh kelompok ekstremis.Â
Artikel ini menyoroti kasus serangan bunuh diri di Sri Lanka pada tahun 2019 yang berakar pada penafsiran hadits-hadits tentang Mahdi yang keliru. Para ekstremis menggunakan literatur ini untuk membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan harapan mempercepat kemunculan Mahdi, yang mereka yakini akan mengakhiri penderitaan umat Islam.
Di dalam tradisi Islam, Mahdi dianggap sebagai sosok yang akan muncul menjelang akhir zaman untuk menegakkan keadilan. Namun, interpretasi yang dilakukan oleh para ekstremis ini salah arah dan sangat bertentangan dengan makna sebenarnya dari hadits-hadits tersebut.Â
Menurut penelitian Pew (2012), sekitar 50% Muslim di sembilan negara mayoritas Muslim percaya bahwa kedatangan Mahdi "segera terjadi". Angka ini menunjukkan betapa besarnya pengaruh literatur apokaliptik di kalangan masyarakat Muslim dan pentingnya pemahaman yang benar akan hadits-hadits ini.Â
Para penulis artikel menekankan perlunya pendekatan kontekstual dalam memahami hadits-hadits ini agar terhindar dari radikalisasi dan ekstremisme. Dengan menggunakan metode analisis kontekstual, mereka menyarankan agar hadits-hadits ini dipahami dalam latar belakang sosial-politik dan sesuai dengan prinsip maqasid al-shariah yang bertujuan untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Dalam artikel ini, Ramzy, Saad, dan Gunaratna berfokus pada bagaimana hadits-hadits tentang Mahdi telah dimanipulasi oleh ekstremis untuk membenarkan kekerasan, terutama di Sri Lanka pada tahun 2019. Mereka menguraikan bahwa kelompok ekstremis seperti ISIS menggunakan narasi apokaliptik untuk menarik pengikut, terutama dari kalangan muda yang merasa terpinggirkan dan mengalami ketidakadilan.Â
Salah satu alasan utama mereka memanfaatkan hadits-hadits apokaliptik adalah untuk menciptakan ketidakstabilan yang dianggap akan mempercepat kedatangan Mahdi, sosok yang mereka yakini akan membawa perubahan global. Ini adalah misinterpretasi dari literatur Islam yang seharusnya dipahami dalam konteks maqasid al-shariah, yaitu prinsip-prinsip Islam yang menekankan kesejahteraan, perdamaian, dan keadilan.
Metode yang digunakan oleh penulis dalam artikel ini adalah analisis kontekstual. Pendekatan ini penting karena dalam tradisi Islam, hadits-hadits harus dipahami dalam konteks historis dan sosial di mana mereka diucapkan. Sebagai contoh, hadits-hadits tentang Mahdi sebenarnya dimaksudkan untuk memberi peringatan tentang fitnah (kekacauan) dan kerusakan sosial, serta untuk memperingatkan umat Islam agar tetap teguh dalam keimanan mereka selama masa-masa sulit. Namun, kelompok ekstremis sering kali memfokuskan pada aspek kepemimpinan Mahdi, sehingga mengabaikan konteks sosial dan spiritual yang lebih luas dari hadits tersebut.
Salah satu temuan menarik dari artikel ini adalah bagaimana perubahan politik di dunia Muslim, terutama sejak abad ke-8 Masehi, telah mempengaruhi cara masyarakat memahami hadits-hadits tentang Mahdi. Seiring dengan terjadinya konflik politik yang melibatkan kalangan Sunni dan Syiah, literatur tentang Mahdi mulai lebih ditekankan sebagai pemimpin politik yang akan datang. Sebelumnya, selama masa sahabat Nabi dan tabi'in, fokus dari hadits-hadits ini adalah pada peringatan tentang fitnah dan pentingnya menjaga keadilan sosial.
Secara historis, pemahaman ini bergeser ketika kelompok-kelompok politik mulai menggunakan literatur apokaliptik sebagai alat propaganda. Sebagai contoh, Al-Mukhtar al-Thaqafi, pemimpin gerakan politik di Irak, menggunakan narasi Mahdi untuk mendukung klaim politiknya pada abad ke-7. Perubahan ini terus berlanjut hingga ekstremis modern seperti ISIS menggunakan narasi yang sama untuk membenarkan kekerasan. Artikel ini menunjukkan bahwa jika hadits-hadits tersebut dipahami dalam konteks aslinya, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan kesadaran akan kerusakan sosial dan memperingatkan terhadap penggunaan kekerasan sebagai solusi.