Upacara adat merupakan sala satu aset yang sangat berharga bagi negara kita, Indonesia. Dengan adanya upacara adat, Indonesia dapat dikenali oleh seluruh penduduk dunia lewat pengenalan upacara adat. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia upacara adat diartikan  sebagai tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.
Seluruh wilayah yang ada di Indonesia, pasti memiliki upacara adat yang menjadi ciri khas dari masing-masing daerah. Tak terkecuali untuk masyarakat sunda. Masyarakat sunda, memiliki segudang upacara adat yang sangat unik, seperti; Seren Taun, Mapag Panganten, Lengser dan Ngalaksa.
Dan Ngalaksa adalah salah satu upacara adat sunda yang unik. Upacara ngalaksa adalah upacara adat sunda yang membawa padi ke lumbung (tempat menyimpan padi) sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas melimpahnya hasill panen padi yang dimiliki oleh masyarakat.
Di dalam kamus bahasa sunda, kata ngalaksa berasal dari kata nga dan laksa. Kata nga dalam bahasa sunda meunujukkan proses dari suatu kegiatan. Sedangkan kata laksa dalam bahasa sunda berarti makanan yang terbuat dari tepung beras dan ketika diolah akan mirip dengan lontong yang dibungkus dengan daun congkok. Proses pembuatan laksa ini menjadi tahapan yang sangat penting dalam ritual upacara ngalaksa.
Sebagai generasi penerus, kita wajib melestarikan upacara adat dengan mengenal asal usulnya, mengapa upacara ngalaksa bisa ada sampai saat ini? Pada masa pemerintahan Suryadiwangsa di Sumedang tahun 1620-an, Sumedang mengalami paceklik pangan karena seluruh pangan akan dibawa oleh kerajaan mataram, saat itu dipimpin oleh Dipatiukur untuk persediaan bekal saat perang, dibawalah rempah-rempah yang ada di Sumedang seperti padi, palawija dll.
Di Sumedang, tepatnya di Rancakalong menjadi daerah penghasil padi yang produktif pada saat itu. Dan ketika hal itu diketahui oleh kerajaan mataram, diperintahkanlah masyarakat Rancakalong tadi untuk mengirimkan makakan yang sekarang disebut dengan laksa. Dan laksa ini terus dibuat sampai sekarang tatkala musim panen datang.
Upacara Ngalaksa ini, termasuk pada tradisi yang bersifat sosio-religius. Upacara adat ini, dulunya dilaksanakan 3 atau 4 tahun sekali. Tetapi, pada tahun 1985 selepas para sesepuh melakukan musyawarah dengan Dinas Kebudayan dan Parisiwata Kabupaten Sumedang, mereka sepakat bahwa upacata Ngalaksa dilaksanakan setahun sekali, pada bulan Mei atau Juli. Dan sekarang, upacara ngalaksa sudah menjadi agenda rutin untuk dilakukan, lewat Peraturan Bupati Sumedang Nomor 113 Tahun 2009 tentang Sumednag Puseur Budaya Sunda.
Menurut Prof. Ilham, "Di dalam setiap upacara adat, pasti ada prosesi yang harus dilakukan tahap demi tahap." Dalam upacara ngalaksa, ada empat tahapan yang harus dilakukan. Yang pertama, Badanten atau biasa di kenal dengan musyawarah di dalam upacara ngalaksa.Â
Badanten ini dilakukan oleh para ketua rurukan dengan mengundang yang lainnya. Lalu yang kedua, Mera. Mera adalah pembagian tugas dan pembagian bahan atau bibit padi, setelah semua sumbangan dari masyarakat terkumpul. Tahapan Mera dimulai dari pembukaan, ngajiad menyan dan ijab Kabul, membagi bahan dan nginebkeun. Lalu yang ketiga yaitu meuseul. Meuseul adalah memijat, dalam arti memijat disini ubtuk menghormati Nyai Pohaci atau Dewi Sri sebagai pengganti dari kata menumbuk yang terkesan kurang layak. Lalu yang terkahir, ngalaksa.
Dalam prosesinya, ada beberapa orang yang terlibat dalam upacara ngalaksa. Yang pertama itu ketua rurukan atau bisa disebut juga ketua kampung. Lalu yang kedua saehu, yaitu seseorang yang memimpin kegiatan dan dapat menjalin komunikasi dengan baik. Lalu yang ketiga, yaitu Juru Ijab yang berperan sebagai mediator untuk menyampiakan mantra-mantra untuk para leluhur.Â
Lalu yang keempat candoli, yaitu orang yang mengerjakan segala hal di sesaji atau dapur. Lalu yang kelima, juru tulis yaitu orang yang mencatat dan menerima sumbangan dari masyarakat. Lalu yang keenam , saksi yaitu orang yang paling tua yang biasanya meluruskan atau membenarkan ketika ada yang salah dalam pelaksanaan prosesi. Lalu yang ketujuh, nu ngiringan yaitu masyarakat yang sukarela membantu hal-hal yang berkaitan dengan prosesi upacara.
Disetiap upacara adat, pasti membutuhkan barang-barang untuk melangsungkan prosesi upacara adat. Dalam upacara ngalaksa, ada beberapa barang yang dibutuhkan seperti; Benda-benda dapur, Benda-benda upacara, benda-benda perlengkapan ngalaksa, benda-benda perlengkapan sesaji, benda-benda midang, pakaian keseharian dan pakaian ngabadaya.
Setelah kita mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan upacara ngalaksa, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa kebudayaan Indonesia adalah harta kekayaan yang tak bisa ditukar dengan sepeser uang, sekalipun dibayar mahal dengan emas sebanyak sepuluh ribu pulau, kebudayaan Indonesia tetap tidak bisa dijadikan suatu hal yang dapat diperjualbelikan. Karena, kebudayaan adalah entitas negeri kita yang harus bisa kita jadikan sebagai suatu keabadiaan.
Ayo, kita saling menjaga kebudayaan yang dimiliki oleh negeri ini, negeri ini tak butuh budaya asing untuk dijadikan kebanggaan, negeri ini butuh kebudayaannya sendiri untuk bisa terus dijadikan hal yang patut diperjuangkan. Kebudayaan bukan hanyalah sebatas entitas yang tak memiliki kontinuitas, tetapi, kebudayaan adalah entitas yang harus dijadikan sebuah keabadian di dalam realitas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H