Mengenang suatu gerakan sosio kultural di era saat ini yang telah semakin memudar akan mengandung hikmah tersendiri, tidak ada gerakan tanpa di dasari pemikiran. Kelompok-kelompok yang terdapat di dalam masyarakat tidak akan bereaksi apabila tidak ada nilai kepuasan yang diraihnya. Salah satu sebab munculnya gerakan dan gelombang permasalahan diidentikan dengan salah satu cacatnya nilai-nilai dasar yang diperjuangkan. Secara rasional, kemampuan struktur sosio kultural yang tidak adil seringkali menimbulkan reaksi dan gejala-gejala sosial bagi para politisi. Sehingga hikmah yang dapat diperoleh dari gerakan sosio kultural yang telah memudar adalah refleksi dari masyarakat sebagai wahana baru untuk melangsungkan kehidupannya.
Sebagai suatu lapisan sosial yang berperan dan berpengaruh bagi bangsa dan negara dari sekarang akan dikenal dengan sebutan "kaum intelektual". Orientasinya kaum intelektual ini akan menggunakan kekuatan-kekuatan rasional untuk menumbuhkan semangat gerakan rasionalisme dan empirisme guna menghapuskan ketergantung dalam tradisi-tradisi. Dalam kondisi seperti inilah peran intelek seringkali kita mendengarkan ajakan untuk bersikap netral, netralis tidak memihak akan dianggap sebagai pilihan yang bijak. Tentu hal ini akan menggelikan, terlebih lagi jika harus dilabelisasi oleh mereka yang anti akal dan mengharamkan rasionalitas seperti filsafat.
Saya sepakat dengan Plato yang menyatakan bahwa cinta adalah sebuah pencerahan. Artinya pecinta seharusnya siap untuk mencerahkan atau dicerahkan oleh kekasihnya. Dengan begitu maka relasi cinta akan nampak lebih bercorak penyempurnaan dan tersucikan dari nafsu, Sebab tak ada penyempurnaan tanpa pencerahan. Manusia bukanlah hamba struktur yang pasif, sebab manusia merupakan salah satu makhluk aktif yang selalu melibatkan pemaknaanya di setiap tindakan yang dilakukannya.
Akal dan agama adalah salah satu dua pelita yang mengenalkan manusia pada jalan cinta yang sebenarnya. Jalan cinta yang akan menghantarkan manusia pada suatu kesempurnaan yang hakiki, yaitu suatu kedekatan pada tuhan. Tanpa adanya dari keduanya atau menolak salah satunya, maka jalan cinta tidak akan dikenali secara sempurna. Dalam dunia biologis akan diibaratkan mata sebagai akal dan agama sebagai cahaya matahari. Dengan menutup mata kita, maka kita tidak akan bisa melihat realitas, begitu juga dengan matahari yang bersinar dengan terangnya. Begitu pun sebaliknya, tanpa adanya matahari maka kita tidak akan dapat melihat realitas. Betapapun mata kita hari ini terbuka dan melotot, hanya dengan membuka mata dibawah sinar mentari, realitas akan dapat tersaksikan. Lalu bagaimana dengan realitas agama saat ini?
Gerakan-gerakan baru ini muncul setelah adanya propaganda baru ketika agama mulai masuk di dalam gedung istana merdeka. Seiring perjalanan politik di negara kita, maka seringkali kita akan menjumpai radikalisasi di tubuh politisi. Tidak hanya itu saja makna dan dalih yang digunakannya pun sudah melebar secara luas. Mereka bersama-sama mengajak seseorang untuk naik ke abstraksi yang lebih tinggi, supaya ketika dia turun ke bumi dapat diberi petunjuk yang konkret. Islam adalah agama yang menekan revolusi konseptual sebelum revolusi fisik. Namun realitasnya hari ini agama sudah di peralat oleh sebagian para oknum yang haus kekuasaan dan mengatasnamakan untuk jihad di jalan Allah.
Para teroris hari ini sudah semakin tumbuh di kalangan kaum intelektual dan regenerasi bangsa, dengan meradikalkan agama sebagai bagian dari gerakan baru yang jika dilakukan maka akan menjadikan diri kita untuk bisa masuk surga. Dia juga mendorong para pemuda untuk dapat berpikir kritis, membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru. Memang konon dalam sejarahnya, tindakan kejahatan terorisme ini tidak dapat dipisahkan dari dalih agama. Bahkan kejahatan ini sungguh luar biasa dari kejahatan negara, saparatis, dan kekerasan dalam hubungan industrial.
Dari hal ini dapat di katakan bahwa indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi besar untuk diolah menjadi sumber lahirnya kelompok-kelompok ekstrem kekerasan baru yang mengatasnamakan agama sebagai sarana dan media untuk melakukan perubahan. Kemudian hal ini juga mengisyaratkan eksisnya budaya sebagai pilar bangunan struktur yang mengatur pelaku parktik sosial sehari-hari. Realitasnya keikutsertaan masyarakat dalam mengikuti dan mendukung aksi terorisme telah menjadi "pedoman" hidup yang baru dalam menjalin interaksi dengan masyarakat lainnya.
Keberadaan pedoman hidup ini akan terus menjalar dan berperan di dalam organ tubuh masyarakat sehingga menimbulkan kebiasaan mengikuti pola pikir hingga akhirnya mewarisi antar regenarasi kita. Dalam keikutsertaan aksi terorisme juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal seperti pemahaman, pemaknaan, keyakinan, dan kesadaran. Sedangkan faktor eksternalnya terdapat adanya dogma-dogma organisasi, nilai-nilai kultur, kondisi globalisasi, pengaruh media massa, dan suasan politik di negara sendiri. Adapun gerakan ini juga seringkali melibatkan pesantren-pesantren dalam aksinya di lapangan yang berimplikasi memicu munculnya pandangan yang negatif.
Munculnya santri-santri yang berpaham fanatik ini seringkali dijadikan sebagai aktor hingga membuat para pondok menjadi sorotan tajam bagi masyarakat. Padahal, dalam sepanjang sejarahnya pondok pesantren ini berdiri dengan memiliki kontribusi yang signifikan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sudah seharusnya juga di dalam masyarakat untuk tidak menutup mata dan berupaya untuk merubah pola pikir pada perihal ini, karena semua itu berawal dari ketentuan-ketentuan pola kehidupan kita sendiri dan ketersediaan individu hari ini akan menentuka wujud Indonesia di masa yang akan datang.
Izzah Nur Sabila; Anggota Pemuda Federasi
Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI) dan Mahasiswi Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya, Universitas Trunojoyo Madura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H