Pluralisme berasal dari bahasa Inggris pluralism, yang memiliki dua bagian kata, jamak (berbeda) dan isme (pengertian) yang artinya berbeda atau pemahaman yang berbeda. Oleh karena itu. kata ini adalah kata yang ambigu (lebih dari satu). Meskipun konsep hak adalah aturan atau kebiasaan resmi mengikat, dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Pengertian pluralisme hukum dengan demikian adalah pluralisme hukum (legal pluralisme) didefinisikan sebagai keragaman hukum. Pluralisme hukum kehadiran lebih dari satu aturan hukum dalam lingkungan sosial.
Legal pluralisme di Indonesia masih berkembang karena Indonesia memiliki berbagai suku, ras, agama, dan budaya. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum nasional, adat, dan agama. Keberagaman inilah yang menyebabkan adanya pluralisme hukum di Indonesia sehingga sewaktu-waktu dapat menimbulkan kebingungan mengenai hukum mana yang berlaku.
Sistem legal pluralisme masih melekat di Indonesia hingga sekarang. Sistem ini menerangkan bahwa setiap masyarakat memiliki cara sendiri dalam berhukum sesuai dengan keadilan menurut mereka. Legal pluralisme muncul misalnya karena terdapat advokasi masyarakat adat yang tengah berjuang membela tanahnya, melindungi sumber daya alamnya yang diambil paksa oleh negara atau swasta untuk kepentingan mereka sendiri. Hukum adat ini melawan keabsahan hukum negara yang merampas tanah adat.
Pluralisme hukum mengkritik adanya sentralisme dan positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat. Pemahaman pluralisme hukum adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Sebuah ungkapan dari Brian Z. Tamanaha, "legal pluralism is everywhere" yang menunjukkan bahwa dalam sosial keragaman sistem normatif adalah keniscayaan. Namun, yang menjadi sorotan dalam pluralisme hukum tidak hanya terletak pada keanekaragaman tersebut, melainkan terhadap fakta dan potensi yang sama-sama menjadi tegang hingga menciptakan ketidakpastian. Ketidakpastian inilah yang menjadi titik yang "diserang" dari pluralisme hukum, walaupun tidak sepenuhnya benar karena permasalahan pokok tersebut adalah terdapat relasinya yang asimetris dari sistem normatif.
Oleh karena itu, John Griffiths mengajukan konsep pluralisme hukum yang lemah dan pluralisme yang kuat. Pluralisme hukum disebut lemah ketika negara mengakui bahwa ada unsur lain dari tatanan hukum selain hukum negara, tetapi tatanan hukum non-negara patuh di bawah hukum negara. Pluralisme hukum yang kuat ada ketika negara mengakui keberadaan hukum non-negara dan sistem hukum memiliki kemampuan yang sama untuk menegakkan hukum negara.
Pandangan ini dapat dipahami kelemahan dan kritik terhadap pluralisme hukum. Dengan berlanjutnya ketimpangan penguasaan kekuasaan antar tatanan hukum yang berbeda, pluralisme hukum dapat menjadi mitos atau ilusi belaka. Terciptanya ketidakpastian hukum mungkin terjadi jika pluralisme hukum membuka ruang pengakuan untuk tatanan hukum lain di luar makhukum negara tanpa sebuah batas.
Menurut kelompok kami, konsep pluralisme hukum bangsa Indonesia menegaskan bahwa masyarakat memiliki cara berhukumnya sendiri yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebutuhan mereka dalam mengatur relasi-relasi sosialnya, pluralnya hukum yang berada pada indonesia, hukum akan terpakai sendiri dengan keinginan atau kebutuhan masyarakat tersebut. Pluralisme hukum kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial. Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H