Mohon tunggu...
Izza Pramesthi
Izza Pramesthi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Gizi Universitas Airlangga 2022

Seorang mahasiswa yang tertarik pada literasi, kopi, dan kucing.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Hustle Culture terhadap Kesejahteraan Psikologis

5 Juni 2023   21:19 Diperbarui: 5 Juni 2023   21:31 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mayoritas generasi muda saat ini pasti tidak asing dengan istilah burnout. Psikolog Herbert Freudenberger pertama kali memperkenalkan istilah "burnout" dalam bukunya "Burnout: The High Cost of High Achievement" pada tahun 1974. Herbert mendefinisikan burnout sebagai suatu keadaan dimana produktivitas dan motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaannya menurun, yang ditandai dengan menurunnya loyalitas terhadap tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya yang tidak dapat dicapai secara optimal. Sesuai dengan definisinya, orang yang sedang mengalami burnout memiliki karakteristik selalu kelelahan, merasa tidak berguna, hingga depresi.

Generasi muda rentan mengalami burnout karena beban kerja, lingkungan sekitar, dan perubahan-perubahan yang semakin cepat tiap tahunnya. Dilansir dari CNBC, Kamis (16/3/2023), survey dilakukan pada 10.243 pekerja penuh waktu dari enam negara termasuk Amerika Serikat dan Inggris, hasilnya lebih dari 40% mengatakan mereka kelelahan. Jika tidak dilakukan intervensi, baik dari dalam diri sendiri maupun kampanye kesehatan mental, persentase generasi muda yang mengalami burnout kemungkinan besar akan meningkat tiap tahunnya.

Hustle Culture Sebagai Salah Satu Penyebab Burnout

Fenomena burnout memiliki beberapa penyebab, salah satunya adalah tren hustle culture di kalangan generasi muda. Hustle culture atau budaya gila kerja merupakan gaya hidup seseorang untuk selalu memprioritaskan bekerja keras dibandingkan istirahat. Sederhananya, pelaku hustle culture memiliki mindset, “Kerja nomor satu, yang lainnya tidak penting!”

Peneliti slow living, Carl Honore, berpendapat bahwa hustle culture merupakan sebuah dunia yang terobsesi dengan kecepatan dan segala sesuatu yang dikerjakan secara begitu cepat dengan melakukan banyak tanggung jawab dalam satu waktu yang sama. 

Budaya ini ditandai dengan adanya kebiasaan untuk bekerja ataupun berkegiatan lebih dari satu dalam satu waktu secara terus menerus dengan minimum jeda atau istirahat. Tekanan untuk selalu berhasil dan meningkatkan produktivitas secara berlebihan bagi pelaku hustle culture tidak hanya menyebabkan kelelahan fisik, tapi juga kelelahan mental dan emosional. Pelaku hustle culture biasanya memilih untuk tidak memedulikan kesehatan fisik dan mentalnya, hal itulah yang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit dan masalah mental seperti burnout.

Dampak Negatif Hustle Culture bagi Kondisi Psikologis

Jika dilihat sekilas, hustle culture dapat meningkatkan produktivitas seseorang. Tapi, penerapan secara terus menerus akan menimbulkan dampak negatif, khususnya pada kesehatan mental. Tingkat stress dan kecemasan seorang pelaku hustle culture akan meningkat karena mereka merasa belum bekerja sekeras dan sebanyak orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut dapat diperparah dengan timbulnya stress karena tekanan pikiran dan gaya hidupnya yang kurang istirahat. Stres terus-menerus ini melepaskan hormon stres (kortisol) dalam jumlah yang lebih tinggi dan untuk periode yang lebih lama. 

Untuk menormalkan kadar kortisol yang meningkat ini, tubuh harus memasuki keadaan istirahat. Namun, hustle culture tidak memberikan waktu untuk istirahat, sehingga kelelahan mental tidak bisa dihindari. Stres terus-menerus dapat membahayakan kesehatan mental dan fisik. 

Selain itu, kembali pada topik utama yaitu burnout, kelelahan kronis karena bekerja tanpa istirahat yang memadai akan menguras energi seseorang. Perumpamaannya bagaikan ponsel, jika digunakan terus menerus tanpa diisi daya, baterai ponsel akan lama kelamaan habis dan akhirnya tidak dapat dipakai kembali. Jika seseorang mengalami burnout, produktivitas akan menurun dan motivasi akan hilang. Dipaksa bekerja pun tidak akan optimal, bahkan bisa menambah gangguan kesehatan mental lainnya seperti depresi.

Kesuksesan Tidak Hanya Bergantung Pada Kuantitas Kerja Seseorang

Taraf kesuksesan tiap orang pasti berbeda-beda. Tapi, pada dasarnya kesuksesan itu merupakan keberhasilan seseorang dalam mencapai sesuatu. Helmet (2012:32) keberhasilan merupakan suatu pencapaian terhadap keinginan yang telah kita niatkan untuk kita capai atau kemampuan untuk melewati dan mengatasi diri dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat. 

Dalam mindset mayoritas orang-orang yang menerapkan hustle culture, kesuksesan ditaraf dari kuantitas mereka bekerja. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja, semakin dekat pula mereka pada kesuksesan yang hendak dicapai. Pola pikir seperti ini harus diluruskan karena berdampak negatif pada jangka panjang. Jikalau pada akhirnya kita menjadi orang sukses, memiliki jabatan yang tinggi dengan budaya hustle, semua hal itu tidak sepadan jika pada akhirnya di masa tua kita terserang penyakit karena pola hidup yang tidak sehat di masa muda.

Kesuksesan haruslah dipandang secara holistik atau keseluruhan, tidak hanya dalam pencapaian pekerjaan. Selain kesuksesan dalam pekerjaan, holistik meliputi kondisi fisik dan mental yang sehat, dan lingkungan yang mendukung untuk produktivitas dalam taraf normal. Salah satu perilaku yang bisa menjadi solusi untuk hustle culture adalah work-life balance. Work-life balance mendorong seseorang untuk menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan seperti istirahat, kesenangan, dan lainnya. Dengan menerapkan keseimbangan antara bekerja dan istirahat, kesuksesan bisa dicapai sembari tetap menjaga kesehatan holistik dalam kehidupan pribadi.

Kampanye Promosi Kesehatan Mental untuk Menyadarkan Burnout Generation

Selain upaya perubahan dari dalam diri sendiri, perlu dilakukan upaya kolektif dari masyarakat, instansi pendidikan, perusahaan, dan pemerintah untuk melakukan mempromosikan kesejahteraan psikologis. Kampanye bisa berupa pendekatan edukasi melalui media sosial, televisi, atau media lainnya yang berisi tentang pentingnya memprioritaskan kesejahteraan pribadi, kesehatan mental, dan work-life balance. 

Instansi pendidikan dan perusahaan perlu diberi kebijakan agar menerapkan work-life balance bagi siswa atau pekerjanya. Upaya bisa berupa jam kerja yang manusiawi, mendorong pekerja untuk tidak sering melembur kecuali memang dibutuhkan, dan kompensasi gaji yang sepadan. Dengan promosi kesehatan yang dilakukan secara luas, diharapkan persepsi masyarakat berubah sedikit demi sedikit dan lebih mementingkan kesehatan fisik dan mental untuk efisiensi bekerja di kemudian hari.

Referensi :

Honoré, C. (2005). In praise of slowness: Challenging the cult of speed. HarperCollins Publishers.

Hudson. (2005). The Case for Work Life Balance : Closing the Gap Between Policy and Practice. Sydney : Hudson Highland Group, Inc

Iskandar, R., & Rachmawati, N. (2022). PERSPEKTIF “HUSTLE CULTURE” DALAM MENELAAH MOTIVASI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA. Jurnal Publikasi Ekonomi dan Akuntansi (JUPEA), 2(2), 108-117.

Singh, A. (2022). 6 tips to get rid of the “hustle” mindset and stop burnout, according to mental-health and productivity experts. Business Insider. Diambil dari https://www.businessinsider.com/hustle-culture-how-to-unlearn-burnout-workplace-counselors-advice-2022-5

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun