Mohon tunggu...
Noer Izza Kusumawardani
Noer Izza Kusumawardani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

menulis sekaligus belajar...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Serahkanlah Urusan Pada Ahlinya (Sebuah Tanggapan Tentang Sebuah Artikel "Karena Mereka Tidak Tahu Perbedaan Tugas Dokter dan Perawat ")

10 Maret 2012   02:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:16 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan di pagi hari yang sejuk, ternyata tidak selamanya membawa suasana yang sejuk pula, hehe…

Pagi-pagi membaca tulisan headline yang berjudul “ Karena Mereka Tidak Tahu Perbedaan Tugas Dokter dan Perawat “ oleh mbak Titin Rahmawati, tulisan lengkap bisa dibaca di http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/03/09/karena-mereka-tidak-tahu-perbedaan-tugas-dokter-dan-perawat/. Dari judulnya saya sudah merasa bahwa tulisan ini pasti ada hubungannya dengan tulisan kompasianer lain yaitu pak Armand yang juga headline dengan judul “ Perawat, Sang Mafia Resep “, tulisan lengkap bisa dibaca di http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/03/09/perawat-sang-mafia-resep/.

Sepintas lalu kesan yang saya tangkap dari tulisan mbak Titin adalah rasa emosi yang muncul karena merasa profesi perawat direndahkan oleh pak Armand. Sebenarnya, tak perlulah emosi. Selama masing-masing profesi mengetahui dan benar-benar memahami tugas dan fungsinya masing-masing, insya Allah tidak akan ada kesalahpahaman.

Saya jadi ingat tadi malam saat tidak sengaja membuka facebook anak saya, dia menulis “ astaghfirullah, orang jaman sekarang udah gak ingat Allah semua… “. Saya hanya membaca dan tidak berkomentar karena saya yakin dia punya alasan, mengapa dia menulis status seperti itu. Ternyata, kakeknya memberikan komentar begini “ dalam ilmu balaghoh, kalimat ini disebut ithnaab: dzikruul ‘aam wa iroodatul khos ( menyebut umum, tapi yang dimaksud khusus ). Seperti mengatakan ‘rumahku bocor semua, padahal yang dimaksud hanya sebagian. Maklumlah’. “ Dan, tantenya mengomentari begini “ kalau dalam ilmu bahasa Indonesia namanya majas totem pro parte, keseluruhan untuk sebagian “.

Disitu tertulis kata ‘ maklumlah ‘. Saya juga tidak mengerti mengapa kakeknya menuliskan kata itu. Ternyata, tulisan ‘ maklumlah ‘ itu ditulis karena menurut sang kakek, anak saya itu masih belum begitu menguasai ilmu dan tata bahasa yang baik. Ah, saya sendiri sama sekali tidak ahli dalam dua bahasa itu, baik bahasa Arab maupun bahasa Indonesia. Mohon dimaklumi juga yaaa… ^__^

Disini, saya hanya ingin memberikan sedikit tanggapan dari beberpa tulisan mbak Titin, tentunya dari pemikiran saya yang tentunya berdasar pada keilmuan dan pengalaman. Saya menganggap perlu menulis artikel tersendiri karena menurut saya tidak cukup hanya lewat kolom komentar.

Tentang kalimat berikut, “ Setiap tindakan yang perawat lakukan mempunyai alasan. Jadi jangan menggeneralisir bahwa perawat mengambil kewenangan dokter. Jangankan soal pelayanan, perawat pakai jas saja dikritik. Seolah2 yang berhak memakai jas hanya dokter. Serendah itukah perawat? “.

Betul. Setiap tindakan, oleh siapapun dan dalam kondisi apapun, selalu mempunyai alasan. Tetapi, dalam pengambilan keputusan tentang melakukan tindakan atau tidak, ada beberapa kewenangan yang memang berbeda untuk masing-masing profesi, entah itu tenaga medis ( dokter ) dan juga tenaga paramedis ( perawat, pembantu perawat, bidan dan pembantu bidan ). Tenaga medis setingkat dokter umum pun mempunyai kewenangan yang berbeda dengan dokter spesialis.

Kemudian tentang penggunaan jas ( mungkin maksudnya jas putih ). Sekarang ini jas putih bukan hanya monopoli dokter. Bahkan di beberapa tempat penjualan obat, saya sering melihat beberapa karyawannya menggunakan jas putih, saya sendiri tidak tahu apa maksudnya. Justru yang sering saya temui di lapangan ( tempat pelayanan medis ) adalah aksi diam perawat ketika pasien memanggil mereka dengan sebutan “ dokter “. Bukan semua perawat juga sih, beberapa, meski hampir semua begitu. Dan saya juga tidak pernah berusaha bertanya mengapa mereka tidak berusaha mengklarifikasi sebutan pasien yang keliru tersebut ? Mungkin sebutan “ dokter “ memang masih memiliki nilai gengsi yang tinggi di kalangan masyarakat awam. ^__^

Kemudian, tentang kalimat yang ini “ Sekarang, yang namanya SPK (Sekolah keperawatan, setara SMU) sudah tidak ada lagi. Pada tahun 2015, diusahakan agar tidak ada lagi perawat lulusan diploma 3 (D3). Tidak dipungkiri, lulusan suatu jenjang pendidikan juga mempengaruhi kemampuan seorang perawat dalam pekerjaannya kelak “.

Lalu, bagaimana halnya dengan Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ) Kesehatan ? Apakah tidak sama atau hampir mirip dengan SPK ? Di kabupaten tempat saya tinggal ada lho SMK Kesehatan. Sebuah jenjang pendidikan memang sedikit banyak mempengaruhi kemampuan seorang tenaga atau ketrampilan kerja seorang professional, tapi bukan hanya itu yang menentukan. Justru individunyalah yang menentukan, apakah dia akan mampu menjalankan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Bukan hanya perawat, dokter pun juga begitu.

Dan tentang kalimat yang ini “Teman saya yang kuliah di prodi sebelah (yang lulusannya mungkin bisa jadi dokter), bercerita bahwa mereka mulai diajarkan melakukan tindakan yang biasanya dilakukan oleh perawat seperti memasang infus, selang makan, dan kateter. Kenapa? Akhirnya ada yang sadar bahwa itu memang tugas mereka “.

Mmm, prodi sebelah. Tidak bisakah dikatakan dengan jelas bahwa temannya sekolah di Fakultas Kedokteran ? ^__^

Ketrampilan melakukan tindakan, seperti memasang infus, menyuntik, memasang kateter, memasang selang makan, atau tindakan yang lain, setahu saya sudah diajarkan sejak jaman dahulu kala di dalam Fakultas Kedokteran. Memang tidak ada teori khusus, melainkan terintegrasi dalam ilmu Anatomi ( ilmu yang mempelajari susunan tubuh manusia ) dan ilmu Anestesi dimana didalamnya mencakup ketrampilan penanganan kegawatdaruratan medis. Dan, semua ketrampilan itu memang harus dikuasai oleh seorang dokter. Jadi, bukan semata-mata karena tugas.

Yang terakhir, “ Tinggalkan pemikiran jahilliyah anda bahwa perawat adalah pembantu dokter yang kerjanya hanya menunggu instruksi. Perawat bukan pembantu dokter. Perawat adalah mitra dokter yang berkolaborasi sehingga menghasilkan pelayanan kesehatan yang profesional. Long live nursing. Hidup masyarakat indonesia yang sehat”.

Ya, perawat memang bukan pembantu dokter. Seperti halnya bidan, juga bukan pembantu dokter spesialis kebidanan. Semua memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan sendiri-sendiri. Jika semua tenaga professionl benar-benar bisa memahami tugas dan fungsinya dengan baik, insya Allah tidak akan ada kesalahpahaman. Tidak ada lagi perawat yang membuka praktek pribadi seperti layaknya seorang dokter. Juga tidak ada lagi dokter yang merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya dan lebih pintar dari perawat. Sebagai seorang mitra tentunya harus bisa menjaga kode etik masing-masing, tentunya dengan tetap berpijak pada nilai-nilai yang benar dan patut serta tidak mengesampingkan tujuan utama yaitu kesehatan pasien.

@Salaam@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun