Bekerja dalam lingkup pelayanan terkadang harus bertabrakan dengan prosedur. Bagaimana tidak, dalam hal tertentu, prosedur pun bisa kalah hanya karena demonstrasi yang sifatnya sangat subyektif.
Pengalaman bekerja selama lebih kurang duabelas tahun dalam bidang pelayanan memberikan cukup banyak pengalaman. Banyak riak dan gelombang yang kadang tak terbendung. Begitu juga kemasygulan ketika melihat tidak banyak yang bisa dilakukan untuk merubah sebuah kondisi.
Sebuah kehidupan masyarakat yang tetap tidak bisa bergerak menuju lebih baik, setidaknya itulah yang terjadi di lapangan. Meski secara tertulis mungkin terlihat sempurna dan mencapai target, tapi yang sesungguhnya terjadi masih jauh dari harapan. Kadang ada rasa heran mengapa hal seperti itu bisa terjadi berulang-ulang setiap bulan dan setiap tahun, bahkan mungkin selamanya. Mengapa ? Semua karena sebuah sistem. Sistem yang hanya membaca laporan dari setumpuk kertas, tanpa pernah mencoba melihat realita yang sebenarnya di lapangan. Sistem yang selalu menginginkan sebuah kata“ sempurna “ tanpa berusaha melihat permasalahan yang masih banyak terjadi di lapangan.
Tidak mudah memang membuat sebuah perubahan meskipun sangat kecil. Apalagi jika tidak ada dukungan dari seluruh karyawan. Satu saja karyawan menolak, bisa buyar semua rencana. Apalagi merubah sebuah kebiasaan yangsudah berurat-akar, tidak semudah membalik telapak tangan.
Bekerja dalam sebuah institusi pelayanan, mau tidak mau harus berhadapan dengan konsumen. Mulai konsumen yang sama sekali tidak tahu apa-apa sampai konsumen yang mengetahui segala sesuatu. Gesekan yang terjadi adalah hal yang biasa meski tidak semua orang bisa memakluminya. Semuanya berawal dari masih minimnya kualitas komunikasi antara pemberi pelayanan ( petugas ) dengan penerima pelayanan ( klien atau konsumen ).
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang pastinya juga akan mampu mendongkrak kesejahteraan seluruh anggota dari sebuah lembaga pelayanan ? Beberapa hal mungkin harus ada sebagai panduan dalam bekerja, antara lain :
NILAI DASAR
Sebuah institusi atau lembaga pelayanan sebaiknya memiliki beberapa nilai dasar yang menjadi patokan dalam berperilaku bagi setiap karyawannya, termasuk pimpinan. Nilai-nilai dasar tersebut akan mengikat seluruh anggota dan bersifat menyeluruh atau berlaku untuk semua. Karena bersifat mengikat, maka seluruh anggota harus benar-benar mengetahui dan memahami nilai-nilai dasar yang berlaku di dalam lembaganya. Pimpinan mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan termasuk memberikan contoh atau teladan bagi karyawannya. Sehingga jika ada karyawan yang berperilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar tersebut, pimpinan tidak merasa segan untuk melakukan pembinaan.
Nilai-nilai dasar hendaknya bersifat umum yang sekiranya dapat dilakukan sebagai seorang pribadi yang dewasa serta bertujuan untuk kebaikan lembaga dan seluruh anggotanya. Seperti misalnya keterbukaan, kejujuran, kebersamaan, kepedulian dan sebagainya disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta proses kerja dalam lembaga tersebut.
Motto bisa diartikan sebagai sebuah kata atau kalimat yang mampu mewakili wujud dari kinerja sebuah lembaga. Dibuat secara ringkas, padat dan jelas tapi cukup bermakna dan mudah untuk diingat. Berupa kata atau kalimat yang sederhana tapi memiliki makna yang cukup luas untuk menunjukkan eksistensi sebuah lembaga. Motto juga bisa terdiri dari satu kata tapi merupakan singkatan dengan tetap mengacu pada prinsip singkat, padat, jelas tapi cukup bermakna dan mudah diingat. Yang pasti, sebuah motto harus mampu membangkitkan keinginan konsumen atau klien untuk menggunakan jasa pelayanan dari lembaga yang bersangkutan. Sehingga, diharapkan akan semakin banyak klien atau konsumen yang menggunakan jasa, dengan begitu tingkat kesejahteraan anggota lembaga tersebut diharapkan juga bisa terdongkrak naik.
Visi adalah cita-cita atau harapan yang ingin dicapai oleh lembaga sebagai sebuah institusi pelayanan. Bisa dikatakan di dalam visi terkandung tujuan dari keberadaan lembaga tersebut, tentunya tujuan yang harus bisa diwujudkan oleh seluruh anggota secara bersama-sama. Dengan adanya visi, sebuah lembaga mampu memonitor dan mengevaluasi kinerjanya selama kurun waktu tertentu disesuaikan dengan estimasi waktu yang diperlukan untuk mencapai visi tersebut. Jika visi pertama sudah tercapai, tentunya akan ada visi-visi lain yang lebih mendorong kreatifitas dan kinerja lembaga untuk berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
MISI
Untuk mewujudkan visi yang ingin dicapai diperlukan misi yang terdiri dari beberapa langkah atau strategi disesuaikan dengan fungsi dan peran dari lembaga itu sendiri. Misi harus dilaksanakan bersama-sama secara bertahap sampai visi yang diinginkan tercapai. Jadi harus ada target waktu, bisa satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau bahkan mungkin lebih. Selain target waktu, juga perlu adanya indikator sebagai tolok ukur keberhasilan sebuah misi.
ETOS KERJA
Sebuah kata yang mampu menjadi pedoman dalam pelaksanaan pelayanan. Etos kerja harus mampu memberi semangat bagi petugas dalam memberikan pelayananserta memberikan kenyamanan bagi petugas maupun konsumen. Sehingga konsumen merasa nyaman, aman dan akhirnya bisa tumbuh kepercayaan.
Setidaknya hal-hal diatas itulah yang menurut saya harus ada dalam sebuah institusi pelayanan. Harapan terbesar dari keberadaan nilai dasar, motto, visi, misi dan etos kerja adalah kepercayaan konsumen. Kepercayaan yang tumbuh karena kepuasan. Bukan kepercayaan yang sesaat.
Lalu, bagaimana jika terjadi sebuah demonstrasi yang muncul akibat rasa tidak puas dari konsumen ? Hanya satu yang bisa dilakukan, instrospeksi. Sebuah saran atau kritik, baik secara kasar atau halus, terbuka atau tertutup,secara lisan atau tertulis, tetap harus disikapi secara bijak tanpa berlebih-lebihan. Bagaimanapun, saran atau kritik yang muncul menandakan bahwa telah terjadi proses dua arah antara konsumen dan lembaga. Harapan yang muncul dengan adanya saran atau kritik adalah perbaikan pelayanan.
Bagaimana dengan prosedur yang kadang terpaksa harus ditabrak demi sebuah pelayanan ? Disinilah pentingnya sebuah kata “ sosialisasi “ atau “ pembelajaran “. Masih minimnya kualitas komunikasilah yang biasanya menjadi kendala sehingga bisa menyebabkan munculnya kesalahpahaman. Disamping itu mungkin juga karena tidak adanya sistem yang mengatur para konsumen, atau mungkin ada beberapa konsumen yang ingin dilayani dengan perlakuan khusus, dimana hal ini dapat memicu timbulnya rasa ketidakadilan ( diskriminatif ) dalam perlakuan terhadap konsumen.
Pada akhirnya, konsumen adalah raja. Dan raja mempunyai hak yang tak terbatas. Tapi, sebagai raja yang bijaksana mestinya juga harus mengetahui bahwa haknya tetaplah punya batas, yaitu hak orang lain. Dengan begitu, meski konsumen adalah raja, dia tetap saja mempunyai kewajiban. Dan untuk mengetahui hak dan kewajiban diperlukan kearifan untuk bersedia berproses dalam pembelajaran. Itulah hidup yang sebenar-benarnya hidup.
@ semoga bermanfaat @ salaam @
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H