Kini hampir setahun aku berkelana mencari berita dan bertemu dengan narasumber gaptek. Promosipun mendekatiku, aku ditunjuk menjadi redaktur. Tantangan di lapangan sedikit berkurang, karena tidak perlu lagi bertemu dan menjelaskan ini-itu kepada narasumber gaptek.
Kelegaanku ternyata hanya berumur pendek. Tantangan lebih besar datang, dan ini tidak main-main karena menyangkut image profesi. Sempat down juga mendengarnya. Sebagian kalangan masyarakat menganggap profesi wartawan idem tito dengan “perampok”.
Ku kira anggapan itu hanya dibeberapa tempat saja, namun tidak. Kini Alhamdulillah aku menjadi wartawan televisi nasional dan ditugaskan di Kabupaten Batang Hari, Jambi. Sungguh diluar dugaan, anggapan miring terhadap wartawan jauh lebih kuat di daerah ini.
Yang paling miris mendengarnya, calon mertuaku menganggap profesi ini tidak layak, jadi kalau masih berminat menikahi anaknya, aku harus mencari pekerjaan lain.
Menurut calon mertuaku itu, wartawan suka mencari kasus untuk memeras pejabat, bukan memberitakan pembangunan atau menolong masyarakat. Apakah semua wartawan seperti itu? Aku tahu pasti bahwa aku tidak begitu. Selama berkutat di dunia jurnalistik, aku tidak berpikir untuk memeras atau merampok orang lain.
Bercermin dari pengalaman ini, apakah harus kusesali profesi yang sedang kujalani ini…? Tentu saja tidak ! Aku akan jelaskan kepada masyarakat bahwa anggapan wartawan itu perampok tidak benar. Bahkan wartawan yang baik mendekati kebaikan seorang nabi, karena dia pembawa pesan pencerahan dan kebenaran…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H