Gus Miftah emang dari dulu metode dakwahnya seperti itu dan sebelumnya juga sudah pernah ada kasus seperti itu, tetepi karena beliau sekarang menjadi Utusan Staff Khusus Presiden jadi itu sebuah kesalahan," ungkap Dosen keika berdiskusi.
Pernyataan tersebut membuka ruang diskusi tentang batasan etika seorang da'i. Dosen tersebut menegaskan bahwa kedudukan dan kekuasaan tidak serta-merta membebaskan seseorang dari tanggung jawab moral, terlebih bagi mereka yang mengaku sebagai penyeru kebaikan.
Analisis mendalam yang disampaikan Dosen ini menggarisbawahi bahwa dakwah sejatinya adalah proses transformasi moral yang mengedepankan martabat kemanusiaan. "Dakwah bukan panggung lawakan, bukan pula arena untuk menunjukkan kuasa. Dakwah adalah jembatan kasih yang menghubungkan hati manusia," tegasnya.
Kritikan tajam tersebut tidak sekadar merespons satu insiden, melainkan membongkar persoalan sistemik dalam praktik dakwah kontemporer. Dosen tersebut mempertanyakan trend da'i yang cenderung menggunakan metode provokasi dan humor yang merendahkan sebagai cara menarik perhatian publik.
"Ketika seorang da'i kehilangan empati, maka sejatinya dia telah kehilangan esensi dakwahnya," sambung Pak Aris.
Kasus Gus Miftah, menurutnya, adalah cermin kritis betapa pentingnya rekonstruksi metodologi dakwah yang lebih bermartabat. Bukan sekadar memindahkan pesan, melainkan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Lebih lanjut, Dosen yang telah puluhan tahun berkecimpung di dunia dakwah ini menegaskan bahwa status sosial atau kedekatan dengan kekuasaan tidak boleh menjadi tameng untuk menutupi perilaku yang tidak etis. "Dakwah di atas kekuasaan sejatinya adalah dakwah yang merendahkan martabat dakwah itu sendiri," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H