Mohon tunggu...
Isma Wati
Isma Wati Mohon Tunggu... Lainnya - Bluestory

Universitas Wahid Hasyim

Selanjutnya

Tutup

Film

Capitalism of Squid Game

12 Oktober 2021   15:40 Diperbarui: 12 Oktober 2021   15:43 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Squid game jadi serial populer survival drama yang mengusung konsep permainan tradisional di Korea. Mugunghwa Kkoci pieot seumnida salah satu kalimat yang terus terngiang, di permainan lampu merah lampu hijau. Di game pertama mulai tergoncang mental karena gerak dikit hilang nyawa. 

Sampai Nontonnya juga ikutan anteng. Abis nonton ngajakin diskusi temen-temen. Dan reaction nya beda-beda, jadi ada banyak sudut pandang gitu loh. Topik utama yang kami bahas tentang capitalism of squid game. Saya akan simpulkan di artikel ini.

Kapitalisme adalah ideologi yang meyakini bahwa modal milik perorangan atau kelompok bisa mewujudkan kesejahteraan manusia. 

Adam Smith juga Mencetuskan teori The Invisible Hand bahwa keseimbangan pasar dapat terbentuk dengan secara alami berdasarkan penawaran dan permintaan. Kapitalisme sebagai paham ekonomi yang berazaskan pemilikan individu, pasar, persaingan, dan profit memberikan keleluasaan.

Fokus pertama kami di serial ini terletak pada 45,6 miliar uang yang ada di perut celengan babi. Kapanlagi bisa dapet uang sebanyak itu. Nah kalau menurut Adam smith siklus the invisible hand sedang bekerja, yang butuh bisa datang kepada yang menawarkan. Ditambah sorotan pada sponsor yang digandeng squid game seperti, sepatu slip on putih milik vans. 

Saya lansir dari cnn indonesia, Menurut data dari Sole Supplier, penjualan sepatu slip-on putih Vans meroket hingga 7.800 persen karena semakin banyak orang yang mencoba meniru seragam yang dikenakan para pemain Squid Game.

Dari sudut pandang lain, Kapitalisme dapat hidup beriringan dengan demokrasi, karena keduanya berbasis kebebasan warga negara. Jika dilihat dari democratic capitalism jelas bahwa undangan untuk bermain game tidak memaksa. 

Peserta dijemput tengah malahpun datang dengan sendirinya. Ditengah-tengah game juga bisa kok berhenti menganut pasal 3 yang dijelaskan oleh staff kotak. 

Lalu permainan dihentikan. Namun setelah keluar dari secret island para peserta datang kembali atas kemauan sendiri walau mereka tahu taruhannya adalah nyawa. High risk memang, tapi terdesak dan ambisi ingin menang. 

Sepertinya para peserta juga penganut machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan yang ia inginkan dengan membunuh satu sama lain dan memperlihatkan powernya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun