Dua puluh tahun sudah kami saling mengenal namun tidak pernah sekalipun aku menaruh harap padanya, pada dia seorang pria yang sekarang duduk bersamaku di pelaminan.
Siapalah aku, dibandingkan dia dengan prestasinya yang luar biasa. Seorang pria yang berhasil meraih beasiswa master di negara kincir angin dan sekarang sudah diterima menjadi salah satu pengajar di universitas swasta di kota ini.
Hubungan kami hanyalah sebatas teman kecil dimana dulu bersama anak yang lain sering pergi ke lapangan dekat rumah, untuk bermain layangan dan petak umpet.
Namun, seiring berjalannya waktu kami pun tidak pernah lagi bertegur sapa, karena bagiku akan terasa aneh jika gadis remaja menyapa teman pria seusianya. Terlebih kami juga tidak satu sekolah, apa yang akan dibicarakan dengannya? Hanya sebatas hi... Ntahlah, tapi aku tidak sanggup untuk memulai percakapan. Apalagi sejak remaja, aku sudah mulai tidak suka keluar rumah selain untuk sekolah atau urusan penting yang lain.
Beberapa kali sering ku dengar kabar dari Ibu tentangnya. Ibu mengatakan jika para tetangga selalu membicarakannya karena dia bisa sekolah ke Belanda secara gratis. Aku pun salut dan ingin menanyakan langsung padanya tips untuk meraih beasiswa. Tapi sekali lagi aku tidak berani untuk memulai percakapan.
Suatu hari ayah mengabarkan jika seorang pria ingin mengajakku menikah. Aku pun terkejut saat Ayah menyebutkan namanya. Serius? Aku sungguh tidak percaya. Kenapa dia memilih aku? Apa aku pantas dengannya?
Tak lama, dia pun datang bersama keluarganya untuk melamarku secara resmi. Di saat itu, aku pun tidak tahan bila tidak menanyakan langsung padanya. "Kenapa kau memilih aku untuk jadi istrimu?"
Dia tersenyum dan menjawab dengan lembut, "karena aku butuh kekasih dan ibu untuk anakku nanti yang akan selalu mendampingiku. Sejak dulu, aku sudah memperhatikanmu. Dan aku tahu, kau wanita yang pantas untuk itu".
Di pelaminan, aku tersenyum menatapnya. Mengingat ucapan manis kenapa dia memilihku. Aku sungguh tidak menyangka bahwa kini kami bisa bersama selamanya. Â Dulu, aku selalu berpikir jika cuma aku yang menaruh rasa padanya, ternyata dia pun demikian. Kami saling memiliki rasa, namun tidak berani untuk mengungkapkan. Karena kami berjodoh, kamipun telah dipersatukan di waktu yang pas dalam ikatan pernikahan. Hanya perkara waktu. (Izkie Lubis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H