Mohon tunggu...
Deandra Syarizka
Deandra Syarizka Mohon Tunggu... -

Panggil aku Izka. Aku mahasiswa jurnalistik. Aku menyenangi dan menikmati seni, apa pun bentuknya, apalagi teater. Aku perempuan yang berusaha untuk sadar dan peduli atas nasib kaumnya. Aku menulis, sebagai kepanjanganku dari berbicara.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Belajar Berbahasa, Yuk!

13 Juni 2010   04:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(foto:http://www.gender.no/News/7789/likestillingstegn.jpg)

Bahasa merupakan alat komunikasi sehari-hari. Ia merupakan alat untuk menyampaikan pesan secara verbal dari komunikator kepada komunikan. Menurut KBBI, bahasa adalah sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Setiap hari semua orang berbahasa. Jadi, untuk apa lagi belajar berbahasa jika setiap saat kita menggunakannya?

Justru, Kawan, karena bahasa hampir digunakan setiap saat maka kita harus belajar menggunakan bahasa yang baik dan benar. Sayangnya, tidak setiap orang memiliki kesadaran untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar tersebut sehingga kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa yang asal-asalan. Parahnya lagi, bahasa yang asal-asalan itu berdampak tidak adil bagi suatu pihak, dalam kasus ini adalah perempuan.

Perempuan? Ada apa dengan perempuan? Coba perhatikan dengan seksama , dalam keseharian kebanyakan dari kita menggunakan bahasa yang tidak adil terhadap perempuan – kalau istilah kerennya—bahasa yang bias jender. Dan sedihnya, bahasa yang bias jender itu tidak hanya digunakan oleh kaum lelaki saja, bahkan kaum perempuan itu sendiri menggunakan bahasa yang bias jender tanpa sadar. Hal itu disebabkan bahasa tersebut sudah sering digunakan dalam keseharian sehingga menjadikannya lumrah, wajar, dan seakan-akan benar. Dalam buku The Second Sex karangan Simone de Beauvoir dikatakan “perempuan tidak menyadari ketidakberdayaannya tetapi menerimanya sebagai suatu kewajaran”. Pun dalam soal berbahasa.

Untuk memahami apa itu bahasa yang bias jender, mari kita terlebih dahulu mendefinisikan jender. Banyak orang yang salah kaprah mengartikan jender sama dengan jenis kelamin padahal kedua hal tersebut merupakan hal yang berbeda sama sekali. Pengertian jender diuraikan secara jelas oleh David Graddol dan Joan Swann dalam Gender Voice :

“Kata jender juga bisa menimbulkan kesalahpahaman, terutama jika digunakan dalam kaitannya dengan bahasa. Jender digunakan sebagai istilah teknis dalam kaitannya dengan istilah-istilah teknis dan kaitannya dengan kategori-kategori gramatikal kata-kata dalam bahasa tertentu. Di tempat lain, jender lebih banyak digunakan dalam pengertian sehari-hari untuk menyebut pembedaan sosial antara maskulin dan feminine. Dalam pengertian ini, jender dapat dibedakan dari jenis kelamin, yang terkait dengn pembagian biologis dan secara umum pembedaan biner antara laki-laki dan perempuan.

Kata-kata pembuka dalam buku historis Simone de Beauvoir The Second Sex ,menangkap esensi karakteristik jender : One is not born a woman, rather becomes(Seseorang tidak dilahirkan, tetapi menjadi, seorang perempuan). Jender merupakan piranti yang lebih dikonstruksikan secara sosial daripada bersifat biologis – orang tidak dilahirkan dengan jender, tetapi mempelajari perilaku dan sikap yang sesuai dengan jenis kelamin mereka.

Jender lebih merupakan sebuah atribut psikologis. Jender melibatkan seksualitas seseorang, yang memiliki dimensi pribadi sekaligus dimensi publik, dan harus senantiasa dipahami dalam konteks hubungan sosial yang khusus dan terus menerus berubah antara laki-laki dan perempuan”. ( David Graddol & Joan Swann, 1989, hal. 11-13)

Jadi, jender lebih menyerupai sifat dan perilaku sementara jenis kelamin adalah ciri-ciri biologis.Sifat-sifat seperti “lembut” yang diidentikkan dengan perempuan dan “tegas” yang diidentikkan dengan laki-laki merupakan jender karena kedua sifat tersebut masih bisa dipertukarkan. Artinya, perempuan bisa saja tegas dan tidak ada yang salah dengan lelaki lembut. Adapun bias, menurut KBBI adalah simpangan. Jadi, bahasa yang bias jender adalah bahasa yang menyimpang, atau bahasa yang “berat sebelah”, dengan kata lain tidak adil.

Bagaimana contoh bahasa yang bias jender itu? Mari kita simak contoh kasus berikut yang dialami langsung oleh penulis. Suatu hari, saat sedang mengantri makan di kantin kampus, seorang teman lelaki yang mengantri di depan penulis mengambil makan dalam waktu yang agak lama hingga antrian menjadi tersendat. Lalu, seorang teman perempuan yang mengantri di belakang penulis menyeletuk dengan nada bercanda “Ahhh, lama banget sih lo, kayak cewek!

Nah, bahasa yang tampak sederhana tersebut merupakan salah satu contoh bahasa yang bias jender. Kalimat “Ahhh, lama banget sih lo, kayak cewek!” menjadi bias jender karena kesan yang ditimbulkan berat sebelah dan cenderung berkesan negatif terhadap perempuan. Ironisnya, kata-kata tersebut justru dilontarkan dari mulut perempuan itu sendiri, Artinya, ketika melontarkan kalimat tersebut sudah ada streoreotype buruk tentang perempuan – yakni lambat, lama—dalam kepala komunikator tersebut padahal sifat “lambat” bisa saja dimiliki kaum lelaki.

Kalimat sederhana seperti yang diuraikan sebelumnya hanya merupakan contoh kecil dari sekian banyak bahasa bias jender dalam kehidupan kita. Kalimat seperti “biasa..cewek”, atau “ah, segitu aja pukulan lo? Cewek gue aja bisa mukul lebih keras” merupakan bahasa bias jender yang sudah dianggap lumrah sehingga dibiarkan begitu saja. Padahal, bahasa bias jender bisa dikategorikan sebagai kekerasan linguistik terhadap perempuan. Hii, seram yaaa.

Pertanyaannya, mengapa sampai ada bahasa bias jender? Coates menjawabnya dengan singkat dan cemerlang :

“Perbedaan linguistik semata-mata merupakan suatu cerminan perbedaan sosial, dan selama masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda – dan tidak setara – maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada” ( Coates, 1986, hal Vi)

Nah, Kawan, setelah mengetahui apa itu bahasa bias jender, masihkah berniat menggunakannya? Kalau kalian termasuk orang yang menghargai sesama, mencintai kesetaraan, maka belajarlah menggunakan bahasa yang baik dan benar – bahasa yang tidak bias jender. Jadi, belajar berbahasa , yuk!

Daftar rujukan:

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

Graddol, David., Swann, Joan.(2003).Gender Voice. Pasuruan: Penerbit Pedati.

De Beauvoir, Simone. (2003). The Second Sex. Surabaya: Putaka Promethea

Ket; Tulisan ini juga di post di http://portalperempuan.blogspot.com/2010/06/belajar-berbahasa-yuk.html

sebagai pemenuhan tugas. Untuk Anda yg mengapresiasi tulisan ini dengan membaca dan meninggalkan komentar, saya meminta bantuannya untuk meninggalkan komentar yang sama dalam link tersebut di atas karena penilaian tugas akhir ini berdasarkan banyaknya komentar. Memang repot jadi anak muda zaman sekarang. huhu. Terima kasih dan tabik. :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun