Mohon tunggu...
Deandra Syarizka
Deandra Syarizka Mohon Tunggu... -

Panggil aku Izka. Aku mahasiswa jurnalistik. Aku menyenangi dan menikmati seni, apa pun bentuknya, apalagi teater. Aku perempuan yang berusaha untuk sadar dan peduli atas nasib kaumnya. Aku menulis, sebagai kepanjanganku dari berbicara.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maaf, Aku Merokok Malam Ini

30 Maret 2010   18:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hah, kau tak tahu saja bagaimana aku menangis menyesali perkataanku  setelah percakapan kita tadi pagi. Kau tak tahu, tentu saja, sebab aku hanya berani ucap dalam hati. Matanya membuka, tatapannya terlihat menerawang. Ia menghisap lagi. Sudah setengah habis. Ia mampirkan rokoknya ke asbak, buang abu.

“Perkataanmu benar. Keadaan sudah berbeda dan itu semua karenaku. Kebertahananku untuk tetap di sisimu hanya akan membawa dampak buruk buatmu”

Luar biasa, sekarang kau sudah tahu masa depan rupanya. Kalimat itu hampir kukeluarkan namun entah kekuatan apa yang membuatnya tercekat di tenggorokan. Suaranya terdengar berat, seperti memikul beban tak terkira. Rokoknya jadi pertanda. Ini sudah yang kedua.

“Kau terdengar sangat kesepian” adalah kalimat pertama yang berhasil kuucap  setelah hening yang cukup lama hingga membuatnya menikmati rokok yang ketiga.

Ia menarik napas dalam. Pun aku. Rokok di tangannya sudah hampir habis. Ia terlihat berpikir, sepertinya hendak menemukan kata-kata yang pas untuk menghujamku. Seolah-olah semua asap rokok di ruang ini belum mampu membuatku sesak.

“Ya, aku memang kesepian. Tapi aku ahli dalam berdamai dengan kesepian. Kau pun akan baik-baik saja, aku yakin. Lagipula kita tetap berteman.”

Aku seakan lupa bagaimana caranya bicara malam itu. Sepanjang percakapan ia seperti sedang bermonolog. Aku penontonnya. Aku sampai berpikir rokoknya itulah penolongnya dalam mengeluarkan kata-kata secara lancar. Sedangkan sesakku oleh asap rokoknya hanya berhasil membuat kata-kataku tercekat meski sebenarnya banyak kata yang ingin kumuntah. Sial. Aku tak ingin dia pergi. Kalaupun ada satu keadaan yang menguntungkan dari situasi ini, itu hanyalah ketika asap rokok yang mengepul itu membuat mataku yang memerah menahan tangis seakan perih karena asap.

“Baiklah, kalau begitu. Aku pulang. Sampai jumpa?”

Intonasiku menggantung, aku berharap jawaban. Tapi yang kudapat hanya sebuah kalimat yang membuat rasaku makin campur aduk tak karuan.

“Tentu kita ‘kan jumpa lagi, Arimbi, setelah aku berhasil menemukan Tuhan”

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun