Generasi Z saat ini sedang ramai dibicarakan, khususnya dalam dunia kerja. Generasi yang lahir di rentang tahun 1997 sd 2012 ini telah mengalami transisi zaman dari tradisional ke era modern atau teknologi yang sedikit banyaknya mempengaruhi sikap dan perilaku mereka terutama dalam dunia kerja. Tidak heran karena saat ini ekosistem SDM dunia kerja didominasi oleh kaum Gen Z, yang dimana mereka memasuki usia produktifnya. Lalu timbul pertanyaan, apakah ini menjadi sebuah masalah?Â
Sebelum kita kupas lebih jauh, mungkin kita telah membaca beberapa artikel ataupun jurnal penelitian mengenai Gen Z yang mana kebanyakannya menyimpulkan bahwa Gen Z adalah sebagai salah satu faktor penghambat jalannya ekosistem dunia kerja. Dalam bahasa kasarnya Gen Z juga seringkali pula disebut sebagai "Beban kerja/Beban Negara". Tentu hal ini bersifat relatif tergantung bagaimana setiap orang memandang permasalahan ini dan dari pendekatan apa. Sebab untuk menilai suatu kelompok atau kelompok usia tidak semata-mata dari objektifitas semata melainkan secara subjektif dan observatif. Sehingga kita akan melihat secara komprehensif apa, bagaimana dan kenapa permasalahan ini bisa mencuat diberbagai topik pembicaraan
Beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial sebuah postingan yang memperlihatkan sebuah slide yang berisi sebuah data bahwa 9,8 Juta Gen Z menganggur mulai dari tingkat SD sampai Universitas pada tahun 2023. Â Sedangkan dalam sebuah survei yang dirilis oleh BPS pada tahun 2020 memperlihatkan bahwa jumlah populasi Gen Z di Indonesia 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total populasi warga Indonesia. Angka ini kemudian disimpulkan oleh banyak orang bahwa Gen Z yang begitu mendominasi di Indonesia, 10% nya adalah pengangguran. Yang menjadi pertanyaan tentunya why? Mari kita lihat dari berbagai faktor:
1. MindsetÂ
Setiap pokok permasalahan sejatinya adalah bagaimana kita membangun pola pikir kita sendiri. Gen Z saat ini tumbuh besar di era digitalisasi membuat pola pikir yang beragam. Ada yang progresif terhadap isu-isu di masyarakat seperti sosial, ekonomi, politik ada pula yang kritis terhadap isu yang sedang hangat dibicarakan. Belum lagi permasalahan mental health yang seringkali disoroti sebagai salah satu penyebab downgrade nya Gen Z ini. Budaya Work life balance yang lagi trend pun juga demikian banyak dijadikan sebagai standar hidup. Perbedaan penerimaan dan pandangan ini menjadikan lahirnya problematika di kalangan Gen Z
Kebanyakannya cara Gen Z menerima dunia kerja adalah mereka memandang bahwa dunia kerja harus sesuai dengan standar moral dan etika mereka. Sehingga ketika mereka menemukan bahwa budaya kerja mereka mulai berlawanan dengan standar mereka, maka mereka akan mudah mengalami yang namanya cemas, stres bahkan depresi. Belum lagi efek dari zaman digital membuat skill set sosial mereka seperti berinteraksi dan bersosialisasi jadi berkurang, sehingga berefek pada penggunaan gadget yang berlebihan
Standarisasi ini timbul tidak lain dikarenakan budaya hidup di media sosial yang mereka lihat setiap harinya. Sehingga ketika sebuah tren baru muncul, maka mereka berlomba-lomba ikut menjadi bagian dari trend tersebut atau yang sering kita kenal dengan istilah FOMO. Sehingga sensitifitas moral mereka semakin terkikis dengan efek samping dari lifestyle media sosial. Kurangnya rasa empati dan simpati, dan kurang kepekaan sosial lainnya. Kita tentu sudah tidak asing dengan berita banyaknya Gen Z yang ikut-ikutan trend yang berujung pada kerugian hingga tak sedikit pula berujung maut. Apakah ini berarti media sosial yang salah? Bisa iya bisa juga tidak, tergantung bagaimana pengguna memakainya dan tergantung bagaimana Mindset penggunanya
Mindset yang benar adalah bijak menggunakan media sosial, bijak dalam memberikan komentar, utamakan adab dan akhlak yang baik. Gunakan media sosial secukupnya, sadarilah esensi media sosial adalah hanya sebuah alat saja itu bukan kehidupan kita yang sesungguhnya. Gunakan untuk hal-hal positif, produktif dan inovatif dan sikapi setiap trend yang ada tidak mesti kita ikut didalamnya. Dan mulailah belajar terbuka terhadap segala sesuatu, open minded itu baik tapi filter minded jauh lebih baik karena kita memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih apakah itu hal yang baik dan benar atau sebaliknya
2. Gaya Hidup
Gen Z banyak dipandang orang sebagai kelompok usia yang pemalas, minim komunikasi serta bertindak semaunya. Mereka adalah tipe kelompok softlife, dalam artian mereka lebih menyukai gaya kerja atau hidup yang santai dan praktis tanpa harus menjalani proses yang rumit. Mereka seringkali sulit untuk bekerja tim atau secara kolektif, karena ketika mereka berada didalamnya seringkali mereka berakhir pada kecemasan yang berujung pada baperan, Mereka belum siap untuk menerima budaya kerja yang keras dan menantang, sehingga banyak diantara mereka yang cepat resign atau malah lebih memilih menganggur untuk menjaga kondisi mental dan kewarasan. Hal-hal sepert inilah yang menyebabkan survei Gen Z sebagai beban lahir. Inilah yang seringkali orang sebuat Gen Z sebagai Generasi Strawberry, indah kelihatannya namun ketika dipencet sedikit langsung koyak