Pada periode awal kolonisasi pemerintahan belanda, Daerah Sulawesi Selatan merupakan daerah strategis bagi pelayaran dikarenakan daerah tersebut merupakan persimpangan jalur pelayaran Laut Jawa – Laut Flores – Selat Makassar – Laut Banda (Kepulauan Maluku) . Sepanjang pendudukan Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, daerah ini tidak lepas dari fenomena pergolakan baik yang terjadi di darat maupun di lautan. Pergolakan tersebut umumnya dilakukan oleh para bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka sampai pada perlawanan rakyat kecil sekalipun. Untuk itu, pada tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda menargetkan penguasaan secara penuh untuk wilayah Sulawesi Selatan. Hal ini untuk menjaga wilayah Sulawesi Selatan dari intervensi negara lain yang juga pada saat itu giat-giatnya untuk melakukan invasi ke daerah yang kurang mendapat perhatian dari Pemerintah Hindia Belanda.
Untuk melancarkan ide tersebut penjajah pemerintahan Hindia Belanda mengirim surat ke Gubernur Sulawesi Selatan pada saat itu yaitu Cornelis Alexander Kroesen tertanggal 14 Juli 1905 Untuk melakukan penaklukan terhadap seluruh penjuru Sulawesi Selatan dengan memaksa semua penguasa lokal untuk mengakui kekuasaan pemerintah Hindia Belanda dengan menandatangani “pernyataan pendek” (korte verklaring).
Sebagai realisasi atas kebijakan Van Heutsz, maka dikirimlah pasukan ekspedisi militer ke Sulawesi Selatan untuk menaklukan kerajaan-kerajaan yang masih berdaulat yang demikian itu yang kemudian membuat masyarakat Sulawesi pada saat itu marah, dan memberikan perlawanan, terutama kerajaan-kerajaan yang memiliki kekuasaan pada masa itu, mereka menganggap perbuatan penjajah Belanda ini dapat mengancam kedaulatan kerajaan mereka, termasuk didalamnya Kerajaan Soppeng serta perlawanannya yang akan kita bahas.
Watallipu La Palloge ( Petta Tallipue ) dalam melakukan perlawanan ke Belanda membangun kerjasama dengan menggalang massa, taktik gerilya dan membangun kerjasama dengan para pemuka masyarakat yang ada diKedatuan ( Kerajaan) Soppeng.
Sistem penggalangan massa yaitu dengan cara menggalang persatuan bersama rakyat dengan membentuk pasukan inti atau pasukan khusus, yaitu pasukan pembunuh berani mati yang tidak kenal mundur atau menyerah, dikenal dengan nama "Pasukan Passiuno".
Taktik dan Strategi sistem perang gerilya yaitu menghindari pertempuran secara frontal dengan pasukan militer Belanda yang memiliki peralatan persenjataan yang lebih lengkap dan modern, serta dengan taktik perang yang sudah cukup terlatih dan berpengalaman di medan perang.
Dukungan rakyat terhadap La Palloge dan para pemimpin lainnya dalam perjuangan melawan Belanda tidak diragukan lagi. Dukungan rakyat bukan hanya berupa simpati diam, melainkan juga dalam bentuk dukungan aktif yang diwujudkan dengan kesediaan rakyat atau para pendukung untuk berkorban, sekalipun dengan jiwanya yang paling berharga didunia ini.
Pada awal Oktober 1905 Belanda dengan pimpinan Kapten Kooy mulai mengadakan operasi didaerah Balusu dan sekitarnya. Pecah pertempuran antara tentara Belanda dengan pasukan dari Baso Balusu Sulle Datu Soppeng. Pertempuran berlangsung selama 3 ( tiga) hari 3 ( tiga) malam disebuah tempat yang bernama Lappa Perese. Belanda tidak berhasil menembus pertahanan Baso Balusu, karena memiliki jenis senjata yang unik, ampuh yang dikenal dengan nama "La Bolong Ringgi ". Karena pihak Belanda mengalami kegagalan, maka mereka kembali menyusun taktik peperangan dengan mengerahhkan semua pasukan dan perlengkapan yang dimilikinya.
Operasi itu dilanjutkan kembali pada awal November 1905, tentara Belanda di bawah pimpinan Kapten Kooy, dengan arah dari timur, yaitu berangkat dengan melalui Lapajung sampai Soppeng di kampung Lawo, dihadang oleh pasukan dari Watanlipu La Palloge dibawah pimpinan Jangko Bauna. Akibat persenjataan yang jauh / tidak seimbang yang dimiliki oleh pasukan Jangko Bauna maka pasukannya dapat dipukul mundur oleh Belanda.
Akhirnya tentara Belanda melanjutkan perjalanannya menuju markas Menteri / Panglima Angkatan Perang Watanlipu di Sering, dengan melalui kampung Pesse, Galung Langie dan akhirnya sampai pada suatu tempat didaerah pegunungan, yaitu Salalong dilereng sebuah pegunungan.
Pertempuran tidak dapat dielakkan lagi. Dari pertempuran tersebut pihak Belanda banyak yang luka - luka, sedang dari pihak Watanlipu La Palloge juga terdapat yang luka - luka dan meninggal dunia, seperti La Pajjampu yang terkena peluru pada tengkuknya disuatu tempat yang bernama KullangE.
Pada 20 Desember 1905 Watanlipu La Palloge melaporkan diri pada penguasa sipil dan militer di Rappang. Ia meninggal dunia pada tahun 1906 di Saoraja Manu di La Balo Tajjuncu dan dikebumikan dipemakaman JeraE Pising Tajjuncu Soppeng. La Palloge Watanlipu Soppeng bin La Mansure Watanlipu Soppeng / La Boccili Baso Sidenreng bin La Unru MatinroE ri Tengngana Soppeng Datu ( Raja) Soppeng XXXI tahun 1849 - 1850 bin La Mappapoleonro Petta MatinroE ri Amala'na Sultan Nuhung Datu Soppeng ( Raja Soppeng) Tahun 1765 - 1820 ke XXVIII bin La Mappajanci Daeng Massuro Sultan Musa Datu Soppeng MatinroE ri Laburau Tahun 1747 - 1765 ( Raja Soppeng ke XXVII ) bin La Mappasiling To Pasajoi Datu Pattojo Matinroe ri Doninna ( Raja Pattojo Soppeng ).
Maka dari kisah tersebut,banyak hikmah yang dapat diambil terutama untuk penguasa negeri ini, di masa seperti ini sangat susah menemukan pemimpin seperti Watanlipu La Palloge , pahlawan sulawesi yang satu ini sukses menarik simpati rakyat, sehingga rakyat percaya dan rela dipimpin,ia merupakan contoh pemimpin yang memiliki integritas, rela berkorban murni demi kesejahteraan tanah air dan kedaulatan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H