Noam Chomsky dalam bukunya Secret, Lies, and Democracy (lihat Katjasungkana, 1997) mungkin dapat membantu analisis berikut. Chomsky memandang AS sebagai negara yang sangat tidak demokratis di dalam negeri. Di AS memang ada pemilu berkala, recall, referendum, dan partai-partai bebas. Namun, keterlibatan publik dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat marginal. Berbagai pergeseran dalam kebijakan publik merupakan akibat dari kepentingan berbagai kelompok bisnis yang berbeda-beda. Kekuasaan yang sebenarnya terletak di tangan investor, pemilik perusahaan, dan bank.
Safra (dalam "Demokrasi Berbasis Korupsi, 2004) menulis bahwa di daerah, demokrasi juga masih belum menjadi alat perbaikan kesejahteraan rakyat. Pemilihan kepala daerah, alokasi APBD, adalah dua hal rawan yang memiliki bobot untuk dikorupsi melalui proses demokrasi. Hal yang demikian biasanya terjadi antara pengusaha, anggota parlemen, dan eksekutif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya dalam suatu studi mengenai korupsi di DPR RI menengarai bahwa korupsi di lembaga legislatif tidak hanya terjadi pada fungsi anggaran dan pengawasan, namun terjadi pula dalam fungsi legislasi (kpk.go.id, 1/10/2022).
Lebih lanjut Safra (dalam "Demokrasi Berbasis Korupsi, 2004) menguraikan bahwa implementasi demokrasi berbasis korupsi berdampak sangat luar biasa dalam menjatuhkan kualitas kehidupan rakyat. Mengapa bisa terjadi? Hal ini dapat dikaitkan dengan dua grand theory yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama dan Samuel Hutington (Christianto Wibisono, dalam Safra, 2004). Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man mengemukakan bahwa sistem demokrasi Barat adalah model yang dapat ditiru oleh umat manusia bahwa penyelesaian konflik politik dilakukan tanpa kekerasan.Â
Sedangkan Samuel Hutington dalam bukunya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order menyatakan bahwa akan ada konflik dahsyat. Hutington sendiri tidak memercayai bahwa teori Fukuyama akan diterima. Jika dalam teori Hutington disebutkan adanya perseteruan peradaban, maka di Indonesia perseteruan tersebut terjadi antara mereka yang bermental status quo, korup beserta pengikutnya dengan mereka (Misalnya aktivis/wartawan antikorupsi dan kaum intelektual yang menjadi pemikir, penyusun strategi dan perencana kebijakan publik yang berorientasi nilai moral dan menegakkan keadilan) yang ingin meluruskan berbagai penyimpangan.
Kembali pada soal meningkatnya aktivitas legislasi di kabupaten Bekasi di masa transisi, oleh karena memasuki tahun politik 2024, sehingga dalam pembentukan Raperda di kabupaten Bekasi, rawan terjadinya praktik korupsi legislasi. Apalagi jika ada pembangunan yang terkesan "bangun proyek dulu, landasan hukumnya menyusul kemudian" hanya akan jadi panggung dramaturgi politik ekonomi para pengusaha hitam dan pemangku otoritas hitam. Â Itulah salah satu sisi buruk drama kejar tayang jika dilakukan. Penyakit lama bangsa, sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan perselingkuhan abadi para pengusaha hitam dan penguasa hitam.Â
Mereka berkolaborasi dalam mengamankan proyek pembangunan. Politik lantas disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi. Jika tak ada "formula" yang tepat, maka bukan mustahil akan membuat kabupaten Bekasi ini semakin sakit. Untuk mengatasinya, butuh partisipasi dan kedewasaaan semua kekuatan para pemilik kapital, birokrat dan politisi agar mereka memainkan perannya dengan menyandarkan pada aturan main yang kuat dan tegas. Penghormatan atas aturan itulah yang menjadi kesejatian manusia berakhlak! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H