Pernahkah Anda mendengar istilah orang tua durhaka ? Apakah ada orang tua yang durhaka ? Kepada siapa ?
Selama ini kita sering mendengar istilah anak durhaka kepada orang tua. Kita mungkin tidak asing dengan sebuah legenda Malin Kundang yang menceritakan tentang seorang anak bernama Malin yang dikutuk oleh ibunya karena durhaka. Bahkan di dalam AlQur'an ada ayat tentang pentingnya menjaga adab atau etika kepada orang tuanya agar tidak masuk dalam kategori durhaka. Demikian juga di dalam beberapa hadits Nabi SAW disebutkan tentang bagaimana seharusnya seorang anak bersikap kepada orang tuanya.
Pertanyaannya, apakah ada orang tua yang disebut durhaka kepada anaknya?
Dalam Islam, peran orang tua terhadap anak sangatlah penting dan mulia. Anak dianggap sebagai amanah yang diberikan Allah SWT kepada orang tua untuk dijaga, dirawat, dan dididik dengan sebaik-baiknya. Orang tua merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Mereka bertanggung jawab menanamkan akidah, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi anak.
Orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya dalam segala hal, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Orang tua wajib memberikan nafkah lahir batin kepada anak-anaknya, termasuk sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Orang tua harus membimbing anak-anaknya agar tumbuh menjadi pribadi yang shaleh dan salihah.
Ada beberapa kriteria yang menjadikan orang tua dianggap durhaka kepada anaknya.
Pertama, memilih pasangan yang tidak shalih/shalihah sebagai calon ayah/ibu bagi anak-anaknya.
Memilih pasangan hidup yang shalih/shalihah adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidup, terutama bagi mereka yang ingin membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Pasangan yang shalih/shalihah akan menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya, serta menjadi mitra hidup yang sejalan dalam menjalankan ibadah dan mendidik anak.
Anak-anak akan meniru perilaku orang tuanya. Dengan memiliki orang tua yang shalih/shalihah, anak-anak akan terbiasa dengan perilaku yang baik dan berakhlak mulia. Orang tua yang shalih/shalihah akan memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anaknya sejak dini.
Pasangan yang seiman akan saling mendukung dalam menjalankan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keluarga yang dibangun di atas dasar iman dan takwa akan lebih harmonis dan bahagia. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang religius cenderung memiliki masa depan yang lebih baik, bukan hanya di dunia tapi juga akhirat.
Jika seseorang memilih pasangan yang tidak shalih/shalihah, maka ada beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi, baik bagi diri sendiri maupun bagi anak-anaknya. Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang kurang kondusif untuk mendapatkan pendidikan agama yang baik. Hal ini dapat berdampak pada pembentukan karakter dan akhlak anak di masa depan. Orang tua yang tidak shalih/shalihah mungkin memberikan contoh yang buruk bagi anak-anaknya. Perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama dapat ditiru oleh anak-anak.
Perbedaan nilai dan pandangan hidup antara pasangan yang shalih/shalihah dengan yang tidak dapat memicu konflik dalam keluarga. Konflik yang berkepanjangan dapat berdampak buruk pada psikologis anak. Anak-anak mungkin merasa ragu dan bingung dalam menjalankan ibadah dan beriman karena melihat contoh yang tidak konsisten dari orang tuanya. Pernikahan yang dibangun di atas dasar yang tidak kokoh  cenderung lebih mudah mengalami masalah dan perceraian.
Kedua, memanggil dengan panggilan yang buruk, termasuk di dalamnya adalah bullying verbal.
Islam sangat melarang tindakan yang menyakiti hati orang lain, termasuk anak-anak. Memanggil anak dengan panggilan yang buruk, termasuk dalam kategori bullying verbal, dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan dan durhaka terhadap anak. Tindakan ini memiliki dampak yang sangat buruk bagi perkembangan psikologis anak dan melanggar hak-hak anak.
Panggilan yang tidak baik atau buruk bisa berakibat anak merasa rendah diri, tidak berharga, dan tidak dicintai. Hal ini dapat merusak harga diri anak dan berdampak pada kepercayaan dirinya dalam jangka panjang. Kekerasan verbal, termasuk panggilan yang buruk, dapat meninggalkan trauma psikologis pada anak. Trauma ini dapat berdampak pada hubungan sosial anak, prestasi akademik, dan kesehatan mentalnya di masa depan.
Anak yang sering dihina atau dimaki cenderung akan mengulangi perilaku yang sama kepada orang lain, baik itu teman sebaya maupun orang yang lebih lemah. Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal. Memanggil anak dengan panggilan buruk adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Ketiga, memberi nafkah dari harta yg haram atau tidak memberi nafkah sama sekali.
Islam sangat menekankan pentingnya seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada keluarganya. Nafkah tidak hanya mencakup kebutuhan materi, tetapi juga kasih sayang, perhatian, dan pendidikan. Baik memberikan nafkah dari harta yang haram maupun sama sekali tidak memberikan nafkah kepada anak, keduanya termasuk tindakan yang dikategorikan sebagai durhaka terhadap anak dalam pandangan agama Islam.
Harta yang haram membawa dampak buruk bagi orang yang mendapatkannya, termasuk anak-anak. Selain tidak memberikan keberkahan, harta haram juga dapat menjadi penyebab berbagai masalah dalam kehidupan, seperti penyakit, kemiskinan, dan perselisihan. Tidak memberikan nafkah berarti mengabaikan kewajiban sebagai orang tua dan dapat berdampak buruk pada pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H