Mohon tunggu...
Izatul Laela
Izatul Laela Mohon Tunggu... Guru - Kepala Sekolah di SDN Karangsono Kecamatan Wonorejo Kabupaten Pasuruan

Hobi menulis, membaca, konten yang menarik tentang kisah yang inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Wajah Penegakan Hukum Negara Kita: Refleksi Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-63

22 Juli 2023   12:12 Diperbarui: 22 Juli 2023   12:25 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari  Sabtu, 22 Juli 2023 Kejaksaan Agung memperingati hari jadi yang ke-63.

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengingatkan tentang tingginya tingkat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Jokowi menyampaikan bahwa kepercayaan publik yang tinggi sangat penting untuk melakukan transformasi kejaksaan di semua aspek dan di semua tingkatan.

Presiden yang dikenal sebagai sosok sederhana yang merakyat itu juga menginginkan agar Kejaksaan Agung semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM)

Peningkatan kualitas SDM ini dapat dilakukan lebih selektif melalui pelatihan efektif termasuk peningkatan profesionalitas anggotanya.

Dalam hal pemanfaatan teknologi informasi, Jokowi juga meminta Kejaksaan Agung agar mempermudah akses masyarakat terhadap layanan hukum dan transparansi.

Dalam kaitannya dengan kepentingan negara, Jokowi juga menghimbau agar Kejaksaan Agung melakukan tindakan cepat dan tepat dalam mencegah penyalahgunaan keuangan negara, mempertahankan serta mengembalikan aset negara. Termasuk di dalamnya adalah menyelesaikan sengketa tanah negara dan sengketa perdagangan internasional.

Itulah sebagian besar isi pidato Presiden Republik Indonesia saat menjadi inspektur upacara pada apel Hari Bhakti Adhyaksa ke-63.

Apakah fakta di lapangan sudah seperti gambaran isi pidato tersebut ? Mari kita simak ulasan berikut.

Dilansir dari katadata.co.id, menurut hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI), sebanyak 31% masyarakat menyatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini buruk.

Sebanyak 29,9% masyarakat menyatakan kondisi penegakan hukum dalam taraf sedang dan 27,9% menyatakan bahwa penegakan hukum di tanah air dalam kondisi baik.

Hasil survey yang dilakukan oleh LSI setidaknya menggambarkan bahwa ketidakpuasan masyarakat bisa sebagai penanda lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Salah satu penyebabnya adalah kualitas para penegak hukum. Ini sangat berkaitan dengan moralitas.

Para penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penerapan keadilan justru menampilkan wajah buram bagi keadilan itu sendiri.

Hukum masih bersifat tebang pilih. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hukum masih memilih kepada siapa dia berpihak dan kepada siapa akan ditindak.

Menurut DR. Artidjo Alkotsar, SH, LLM, ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan wibawa sebuah negara. Bila penegakan hukum di negara tidak dapat diciptakan maka runtuhlah kewibawaan negara tersebut.

Masih menurut Artidjo, penegak hukum harus menambah dan memaksimalkan pengetahuan hukum, meningkatkan skill yang berupa legal technical capacity dan hal yang paling utama adalah memiliki integritas moral untuk menegakkan hukum.

Hal senada juga disampaikan oleh Prof. DR. Eddy Hiariej dalam giat Refleksi Akhir Tahun yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah. Prof. Eddy menyatakan ada 4 faktor yang harus dimiliki sebuah negara untuk menegakkan hukum yaitu Undang-undang, profesionalisme penegak hukum, sarana dan prasarana hukum serta budaya hukum masyarakat.

Saya jadi teringat tentang kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sukses menegakkan kebenaran dan keadilan sebagaimana para pendahulunya yaitu Khulafaur Rasyidin yang mampu menegakkan keadilan di wilayah Al Qadha', wilayah Al Hisbah dan wilayah Al Mazhalim serta menempatkan kedudukan hakim lebih mulia daripada seorang gubernur.

Yang paling penting dari semua itu adalah bagaimana tarbiyah atau pendidikan yang dijalankan oleh para pengak hukum dan keluarganya.

Kita tentu sangat ingat bagaimana kehati-hatian  Khalifah Umar dalam menggunakan fasilitas negara. Saat anaknya menggunakan lampu yang dibiayai oleh negara langsung dipadamkan oleh beliau.

Betapa kontras sekarang kita saksikan. Tidak sedikit para pejabat yang dengan entengnya mengendarai mobil plat merah untuk kepentingan pribadi. Belum lagi memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan keluarga. Subhanallah.

Saya sepakat dengan usulan Anies Rasyid Baswedan saat acara dialog terbuka di sebuah stasiun televisi tentang kiat mencegah terjadinya korupsi.

Anies menyatakan selain melalui kurikulum di kampus atau sekolah, pencegahan korupsi hendaknya melibatkan masyarakat secara luas.

Masyarakat diminta proaktif memantau kekayaan para pejabat publik terutama bila terindikasi tidak wajar. Dengan memanfaatkan ponsel pintar hal itu bisa dilakukan. Karena rekam jejak digital akan dilihat oleh banyak kalangan.

Teringat juga pesan Alm Mbah Maimoen Zubeir :

Wong pinter kuwi apik.
Wong bener luwih apik.
Luwih becik dadi wong bener senajan ora pinter.
Tinimbang dadi wong pinter tapi ora bener.

"Orang pintar itu baik.
Orang benar lebih baik.
Lebih baik menjadi orang benar meski tidak pintar.
Daripada menjadi orang pintar tapi tidak benar."

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun