Tanggal 10 Dzulhijjah merupakan dua moment penting bagi ummat Islam. Yang pertama adalah bagi kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji di Makkatul Mukarromah. Yang kedua adalah pelaksanaan penyembelihan hewan qurban.
Kata qurban berasal dari bahasa Arab “qaraba-yuqaribu-qurbanan” yang artinya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dari istilah ini memiliki makna bahwa sebagai hamba Allah kita berusaha menyingkirkan segala hal yang dapat menghalangi upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam.
Penghalang upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT itu disebut sebagai “berhala”. Dalam Islam, berhala adalah obyek berbentuk makhluk hidup atau benda yang didewakan, disembah, dipuja dan dibuat oleh tangan manusia.
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang.” (QS Al Aa’raf ayat 191)
Dalam konteks kehidupan manusia maka “berhala” ini bisa berupa ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta benda dan lain-lainnya secara berlebihan.
Pesan mendasar dari Iedul Adha atau Iedul Qurban adalah sesungguhnya sepanjang manusia dalam hidupnya menyerahkan diri kepada Allah SWT maka seluruh gerak maupun diamnya, tidur maupun terjaganya bernilai ibadah. Oleh karenanya sangat penting menata niat dalam setiap aktifitas.
“Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung dari niatnya. Dan yang dianggap bagi setiap orang adalah apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya diterima oleh Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang akan dikawininya maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niati. (HR Bukhari dan Muslim)
Demikian pula dalam konteks ibadah qurban. Menyembelih hewan qurban sesuai dengan syari’at merupakan wujud ta’abbudi, ekspresi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Bila kita melihat makna yang lebih mendalam dari penyembelihan hewan qurban, sesungguhnya hewan qurban itu hakikatnya adalah simbol dari segala sifat tidak baik yang harus “disembelih” dari dalam diri manusia beriman.
Ketika Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam hendak mengorbankan “Ismail”, sang putra kesayangan, ini mengajarkan kepada kita bahwa saat ini “Ismail-Ismail” itu bisa berupa jabatan, kedudukan, harta, harga diri, profesi, mental korupsi, kolusi, nepotisme, melanggengkan kekuasaan dan lain-lain.
Artinya kiasan “Ismail” adalah segala sesuatu yang membuat manusia hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya dan apapun yang dapat membutakan “bashiroh” atau mata batin serta membuat “tuli” dari hidayah Allah SWT.
Berupa apapun “Ismail” itu maka harus “disembelih” atau dikurbankan sebagai implementasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Jangan sampai karena mempertahankan jabatan, kekuasaan dan sebagainya akhirnya melakukan segala upaya yang melanggar syariatNya, menghalalkan segala cara.
Mengutip pemikiran Tuan Oliver Lodge,” There is no life without sacrifice and no sacrifice is wasted” yang artinya tidak ada hidup tanpa pengorbanan dan tidak ada pengorbanan yang terbuang”. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa berkorban atau pengorbanan merupakan inti dari kehidupan.