Surabaya, 16 november 2024 - Webinar Tax Edu Series Ep. 18 yang digelar oleh MUC Consulting mengangkat bahasan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2024, sebuah kebijakan baru yang mengatur perlakuan Pajak Penghasialan (PPh) final atas Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA).Â
Meski Kebijakan ini disebut sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi, tidak sedikit pihak yang mempertanyakan efektivitas dan dampaknya terhadap pelaku ekspor.
Kebijakan dengan Target Ambisisus
PP 22/2024, yang berlaku sejak Mei lalu, mengatur bahwa eksportir wajib menempatkan DHE SDA mereka pada instrumen monoter dan keuangan tertentu di Indonesia. Tarif PPh final diberlakukan berdasarakan jangka waktu penempatan, mulai dari 0% untuk penempatan lebih dari enam bulan hingga 10% untuk penempatan singkat satu hingga tiga bulan.
Nur Hidayati Ilmi, konsultan pajak dari MUC Consulting, menyebut kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk mengamankan ketersediaan valuta asing di dalam negeri. "Dengan langkah ini, pemerintah ingin memastikan stabilitas monoter sekaligus memberikan insentif kepada eksportir yang berkomitmen menempatkan dana mereka dalam sistem keuangan nasional," ujarnya.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah insentif ini cukup menarik bagi eksportir besar, terutama mereka yang memiliki opsi lebih kompetitif di  pasar global
Tantangan bagi Eksportir
Eksportir diwajibkan menempatkan setidaknya 30% dari DHE SDA mereka dalam sistem keuangan indonesia selama minimal tiga bulan. Aturan ini berpotensi menjadi tantangan besar, terutama bagi sektor yang sangat bergantung pada arus kas cepat, seperti pertanian dan perikanan.
Dani mengungkapkan keraguannya. "Memasukkan devisa ke rekening khusus dengan tarif pajak yang tidak fleksibel terasa seperti beban, terutama ketika kondisi pasar global tidak stabil. Apakah pemerintah benar-benar memahami kebutuhan pelaku usaha kecil dan menengah?" tanyanya.
Kritik atas Implementasinya
Kritik juga diarahkan pada mekanisme pengawasan dan sanksi yang dianggap terlalu represif. Eksportir yang tidak patuh akan menghadapi penangguhan layanan ekspor, sebuah sanksi yang dapat merugikan rantai pasok secara keseluruhan. Selain itu ketergantugan pada lembaga keuangan lokal dianggap kurang ideal, mengingat tingkat bunga Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara lain.
Harapan untuk Evaluasi Kebijakan
Meski tujuan kebijakan ini mulia, yaitu stabilitas ekonomi dan monoter, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek praktis dan dampak jangka panjangnya. Tanpa insentif yang lebih kompetitif dan pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan pelaku usaha kebijakan ini bisa menjadi kontraproduktif.
Sebagai penutup, webinar ini menggaris bawahi pentingnya dialog antara pemerintah dan pelaku usaha. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tidak hanya mendorong kepatuhan, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi semua pihak yang terlibat. Eksportir kini menunggu apakah pemerintah bisa bersikap fleksibel dalam implementasi kebijakan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H