Mohon tunggu...
Yulia Bachar
Yulia Bachar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Multipotentialite

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hukuman

16 Agustus 2016   07:16 Diperbarui: 16 Agustus 2016   07:38 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan hidup kita, seringkali kita menjumpai berbagai bentuk konsekuensi yang bernama HUKUMAN. Dirumah, ayah dan ibu seringkali memberikan hukuman ketika anaknya tidak menjalankan tugasnya, atau melanggar aturan yang telah disepakati. Di sekolah bapak dan ibu Guru memberikan hukuman kepada murid-murid yang tidak mengerjakan tugas, datang terlambat ataupun mereka yang melakukan berbagai pelanggaran mulai dari tata tertib berpakaian hingga berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan baik sengaja ataupun tidak sengaja, baru-baru ini bahkan hukuman fisik yang diberikan Guru kepada muridnya ternyata bisa mengakibatkan sang Guru masuk Bui ataupun sebaliknya.

 Di kantor berbagai pelanggaran yang dilakukan karyawan berbuah hukuman mulai dari surat peringatan, penurunan jabatan hingga pemecatan. Di jalan kita mengenal kata “tilang” sebagai hukuman atas pelanggaran yang dilakukan pengemudi kendaraan bermotor, atau hukuman yang spontan kita terima berupa makian dari para pengemudi lain yang kelancaran perjalanannya terganggu oleh ulah kendaraan kita yang secara sengaja ataupun tidak sengaja menghalangi mereka.

Berbagai tindakan yang menimbulkan gangguan pihak lain seringkali berakibat timbunya berbagai konsekuensi baik secara sosial maupun hukum yang harus kita terima. Tujuan dari berbagai konsekuensi tadi pada dasarnya adalah menimbulkan rasa jera kepada pelakunya agar tidak mengulangi perbuatan yang menimbulkan gangguan tadi. Namun dalam perkembangannya berbagai bentuk hukuman yang diterapkan baik secara spontan dalam interaksi kehidupan sehari-hari maupun secara hukum tidak menimbulkan rasa jera para pelakunya. 

Adanya maling kambuhan, menjamurnya perilaku korupsi, dan berbagai pelanggaran hukum di masyarakat terus terjadi meskipun berbagai pengadilan disidangkan dan berbagai hukuman dijatuhkan. Belum lagi berbagai modus pelanggaran baru yang berkembang dalam masyarakat kita yang semakin hari semakin banyak kita temui dan kita baca melalui media.

Penyebab dari berbagai pelanggaran yang berkembang di masyarakan tidak hanya sebatas masalah desakan ekonomi, tapi juga berbagai informasi yang diserap dan dipahami secara bebas tanpa mempertimbangkan etika dan tatanan yang berlaku di masyarakat. Berbagai expresi-expresi yang menyimpang ini mengakibatkan benturan-benturan yang tidak dapat dihindari dan berkembang secara luas dan mewujud dalam bentuk-bentuk pelanggaran atau kejahatan-kejahatan baru.

Hukuman yang diterapkan baik yang dijatuhkan melalui proses peradilan maupun hukuman spontan yang diganjarkan kepada pelaku tanpa proses peradilan ternyata tidak menimbulkan efek jera. Tengoklah senyum para koruptor dihadapan kamera yang disiarkan secara nasional tak sedikitpun menyiratkan rasa penyesalan bahkan mungkin merupakan harga yang disepakati atas pelanggaran yang dilakukan tanpa harus memahaminya sebagai sebuah kesalahan. Bahkan kadang mereka menjadi pahlawan dalam komunitasnya karena berperan sebagai kambing hitam sehingga kambing putih yang ikut terlibat terbebas dari dakwaan. 

Para maling yang terpaksa harus dilumpuhkan dengan timah panaspun, terkadang melalui semua proses peradilannya tanpa menggoreskan “rasa” penyesalan atas perbuatan yang dilakukannya. Semua dijalani dan dipahami sebagai konsekuensi atas ke “sial” an yang terpaksa harus dialami.

Lalu apa makna hukuman itu sendiri ketika tidak menimbulkan efek jera. Ia hanya memuaskan penonton yang mind setnya terlanjur terbentuk bahwa mereka yang melanggar harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Porsi setimpal ini diukur dengan jangka waktu dan bobot penderitaan yang harus ditanggung si pelaku yang ukurannya sangat relatif.

 Dan ketika para narapidana tadi selesai menjalani hukumannya, rasa apa yang mereka bawa pulang ? apakah penyesalan, dendam, atau pengalaman baru yang diperoleh dalam tahanan, berupa benturan fisik antar sesama penghuni, kerja paksa yang harus dijalani ketika di plonco, perilaku senior yang melakukan “penyambutan” pada para tahanan baru, dan berbagai interaksi yang mengakibatkan hati menjadi semakin keras.

Apakah bui mampu menawarkan proses perbaikan perilaku yang lebih baik dari sebelumnya, atau mengajarkan kecerdasan baru bagaimana supaya tidak tertangkap, atau sebuah ruang untuk merencanakan balas dendam, . . .

Apakah bui mampu menjadi sekolah bagi para pelaku kejahatan untuk menemukan jiwa baru yang lebih baik, menjadi tempat perenungan/ introspeksi dan moment untuk menyesali semua perbuatan, . . .  entahlah, . . . atau hanya sebagai tempat rekreasi bagi mereka yang lalai sesaat untuk kemudian kembali dengan kecerdasan baru, strategi baru dan relasi-relasi baru untuk melahirkan karya-karya baru yang bermanfaat bagi mereka yang bisa memanfaatkan karya mereka, . . . 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun