“Pohon itu selalu memberikan keteduhan pada orang-orang dibawahnya, dari panas matahari dari rintik hujan, dan bahkan pohon itu juga memberikan suasana nyaman bagi orang lain, tapi orang-orang tak pernah berterima kasih pada(n)Nya”. kata Gina beberapa saat kemudian, tatapannya masih tertuju pada pohon itu. dan aku mencoba mencerna kata-katanya.
“Kupikir pohon itu juga tak membutuhkan terima kasih orang”. Ucapku.
“Tapi dia butuh perhatian orang”, balasnya.
“hem aku setuju kalau yang itu, tapi tidak harus orang yang berteduh dibawahnya berterima kasih pada pohon itu, karena akan terlihat menggelikan berbicara dengan pohon, tapi orang awam menyebutnya gila, ahli psikologi menyebutnya stres, dan ahli sastra menyebutnya nyentrik”. Kurasa jawabanku terlalu panjang. Tapi itu tak apa, siapa tahu tema pembicaraan kita semakin banyak.
“Setidaknya orang berterima kasih pada yang menumbuhkan pohon itu, karena manusialah yang punya kesadaran untuk berterima kasih, dan terima kasih itu ungkapan lain dari syukur,” ujarnya kemudian, tapi senyum tipis tersungging di wajahnya dan matanya seakan terpejam. Aku sendiri berpikir dan menerka kemana kira-kira pembicaraan ini akan menuju. Tapi pikiranku tak berjalan lancar, macet di tengah pesona senyumnya yang menawan. “luar biasa...!!” dan seperti tersihir, aku pun secara tidak sadar tersenyum dan rasanya ringan banget dada ini. Bahkan aku sendiri kaget dengan senyumku. Tapi aku menikmatinya.
“Kenapa kamu tersenyum?” tanyaku padanya.
“hem aku lagi bersyukur”, jawabanya sembari kembali menopang dua dagunya dengan kedua tangannya dan dia tetap tersenyum sendiri. Lalu merentangkan tangannya, wajahnya menengadah kelangit seakan-akan ia membuka hatinya menyerap seluruh angin dingin yang mengigit, kupikir dia ingin menyejukkan hatinya yang mungkin sedang lagi panas.
“apa yang kamu rasakan..? menyerap kesejukan alam..?” tanyaku.
“menyatukan kesejukan hatiku dengan kesejukan alam, cobalah dan rasakanlah, tampaknya kamu lagi gundah,” ucapnya sembari tetap tersenyum memandang langit seperti memandang wajah kekasihnya. Benar-benar pandangan yang lembut. Hem aku pun mencobanya, tapi sepertinya aku tak merasakan apa-apa. Kecuali hanya rasa dingin di badanku.
“aku tak merasakan apa-apa”, ucapku kemudian.
“karena kamu tidak bersyukur”, jawabnya singkat.