Mohon tunggu...
Iyan Jibroil
Iyan Jibroil Mohon Tunggu... karyawan swasta -

jika hidup ini tak selaras dengan mimpi, maka janganlah berhenti, teruslah berlari karena hidup tak mengenal kompromi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dunia Pendidikan Bukan Dunia Pasar

3 Januari 2012   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Konon disebuah Negeri antah berantah sana, ada tukang becak yang siap mengayuh sejauh 5km, hal itu biasanya ia lakukan setiap hari, dengan alat transportasi tersebut kita bisa sampai pada suatu desa yang berada dipelosok negeri tersebut. Desa tersebut bisa disebagai desa yang tertinggal, hal itu dapat dilihat dari sisi kehidupan masyarakatnya yang masih konservatif, serta teralienasinya desa tersebut dari konsep pembangunan yang direncanakan oleh Negara setempat. Sehingga kehidupan masyarakatnya sangat memprihatinkan.

Untuk pada sampai pada desa tersebut, dengan kendaraan becak sebagai alat transportasi membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam, hal ini dilatar belakangi karena kondisi jalan yang sangat rusak, berbatu dan berlumpur setebal mencapai 3-7cm. akan tetapi walaupun demikian alat transportasi tersebut sangat digemari oleh masyarakat, sambil menikmati goyangan diatas becak, mereka dapat menikmati indahnya alam secara gratis.

Hingga pada suatu ketika, ada seorang pendatang yang ingin mengunjungi keluarga yang berada di desa tersebut, sebagaimana lumrahnya masyarakat desa jika mau berkunjung, dia membawa oleh-oleh yang banyak, diantara barang bawaannya ada telur, pisang, serta buah-buahan lainnya. Kemudian orang tersebut menghampiri tukang becak, transaksi pun dilakukan, hingga sampai pada persoalan ongkos transportasi tersebut.

Awalnya tukang becak memasang harga 15.000, akan tetapi pendatang tersebut kemudian menawarnya 1.000, dengan jarak 5 km. anehnya si tukang becak kemudian tanpa pikir panjang menyanggupinya. Akan tetapi dalam perjalanan si tukang becak mengendarai dengan sangat begitu cepat, hingga orang tersebut menjerit-jerit ketakutan dan barang bawaannya pun banyak yang rusak. Kemudian dia berujar “pak….Pelan-pelan dong, entar kalo kecalakaan bagaimana..?” ujar pendatang tersebut, kemudian tukang becak menjawab “Bayar 1000, minta selamat” kata tukang becak dengan nada kesal.

****

Baiklah dari fenomena diatas, “bayar 1000, minta selamat” sama halnya dengan “harga murah, barang berkualitas tinggi”, “Bayar sedikit, Mintanya banyak”, atau bahkan kalau dalam dunia pendidikan kita baik di sekolah ataupun dikampus “SPP murah, mintanya mutu dan kualitas pendidikan yang tinggi”. Hal ini mungkin hampir mustahil kita dapatkan dalam dunia yang kita anggap sebagai zaman modern ini. Dalam logika pasar, “harga mahal, pasti berkualitas tinggi” tidak mungkin “harga murah, kualitasnya tinggi”.

“Jadi bagi sahabat-sahabat mahasiswa yang kerap kali mengkritik dan menganilisis kebijakan kampus serta system, metodologi dan kualitas dosen yang dianggapnya tidak memberikan pelayanan yang memuaskan dalam proses balajar mengajar dikampus, diharapkan bisa intropeksi diri. Salah satu bentuknya adalah dengan mengkoreksi berapa besar kalian membayar SPP/heregistrasinya. Hal itu menentukan terhadap pelayanan serta kualitas pendidikan yang akan didapatkan”. Begitulah kata-kata seorang mahasiswa senior ketika sedang berdiskusi dengan mahasiswa baru yang sedang kalut dan kecewa terhadap kualitas pendidikan yang ada dikampusnya.

Dari kata-kata senior tersebut, sebenarnya dia telah menyamakan antara dunia pasar dengan dunia pendidikan, dimana “harga” menentukan “kualitas” barang yang akan didapatkan. Jika memang demikian pola pikir yang dibangun dalam system dunia pendidikan kita, maka secara tidak langsung dunia pendidikan kita memberikan rambu-rambu “orang miskin dilarang untuk pintar” atau setidak-tidaknya, “orang miskin, akan mendapatkan guru yang bodoh”. Jika demikian adanya maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia pendidikan kita (bagi orang-orang miskin) jargonnya yang tepat mungkin “GURU (DOSEN) BODOH akan menghasilkan MURID (MAHASISWA) GOBLOK”.

Dari hal itu, maka sebagai sama-sama orang miskin yang punya keinginan untuk menjadi orang berilmu, marilah kita sama-sama “SADAR DIRI” dengan cara berpikir dan ber-hidup secara “MANDIRI”. Marilah kita sama-sama pontang panting mengeluarkan keringat untuk belajar sendiri, mencari ilmu sendiri, sehingga kita tidak menjadi orang yang GOBLOK “sendiri”. Karena sebagai orang miskin satu-satunya KEKAYAAN yang kita “HARUS/WAJIB” miliki adalah SEMANGAT dan KEMAUAN KERAS. Tanpa itu, maka kita benar-benar akan menjadi ORANG MISKIN YANG SEJATI.

Akan tetapi bedanya realitas mahasiswa yang katanya “MEMBAYAR MURAH” berbeda dengan pendatang yang juga “MEMBAYAR MURAH” di atas tadi. Perbedaannya terletak pada, bahwa pendatang tersebut masih melakukan proses tawar menawar dengan tukang becak tadi, sehingga tukang becak pantas kalo memberikan pelayanan sesuai dengan jumlah bayaran yang telah disepakati. Sedangkan mahasiswa tidak melakukan transaksi dengan pengelola system pendidikan di kampus. Pembayaran tersebut telah ditentukan oleh pelaku system tanpa proses tawar menawar dengan mahasiswa.

Jadi alangkah TIDAK PANTAS-nya jika kemudian pihak kampus mengembalikan kesalahan-kesalahan yang dikritisi oleh mahasiswa kepada MURAHNYA BIAYA pendidikan yang ada. Pertanyaannya kemudian jika mahasiswa sanggup membayar lebih, MAUKAH pihak kampus memperbaiki system dan kualitas dosesn yang ada…????

“sebagai mahasiswa yang baik, berhentilah bersikap “blumming the victim”, marilah kita mulai berkreasi”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun