Hening…..! malam baru baru saja melalui separuh perjalanannya, nyaris semua mata sudah terpejam, terlelap dalam mimpi-mimpi dan harapan. Tapi malam itu, ditengah kesunyian yang mencekam, angin berbisik lembut di celah kecil jendela ruang kamar Gina, ia masih berusaha untuk terlelap, namun usahanya selalu gagal.
Seperti ada suara ketukan di jendela, ia terperanjat sesaat, namun ia kembali tenang setelah ia tahu ranting pohon mangga di terpa angin melambai seakan memanggil Gina untuk menghampirinya. Gina masih diam, pikirannya masih terus menari-nari di angkasa, membentuk sebuah siluet kabur tentang masa depan hidupnya.
“Pernikahan…! Akh…..” keluhnya, kalimat itu kini menjelma menggelisahkan. Sejuta tanya yang selalu ada tersimpat dalam kata yang cukup keramat. Ia kembali mengingat tawaran pernikahan oleh ayahnya, namun hal itulah yang menjadi awal mula persoalannya malam ini. “Dengan siapa aku akan menikah? Lalu apakah aku akan mencintainya? Lebih dulu mana sebenarnya cinta dan pernikahan? Mencintai lalu menikah, apa menikah lalu mencintai? Bagaimana kalau aku menikah dengan orang yang sampai akhir hayatku aku tidak mencintainya?” pertanyaan tersebut tersusun terus menerus tanpa henti. “Akh….!!!” Keluhnya lagi.
Tak mau rasanya Gina terus tenggelam dalam kebingungan, ia pun beranjak dari tempat pembaringannya, ia pun kembali membuka jendela kamarnya, dan menatap rembulan yang nyaris purnama, walaupun belum bulat sempurna namun keindahannya tetap tak terbantahkan. “Rembulan…!! Ia selalu hadir dan menenangkan bagi setiap mata yang memandang,”. Ucap Gina dalam benaknya. Ia kemudian menarik nafas panjang yang cukup dalam, seakan ingin menenggelamkan semua kegelesihannya dan menghembuskannnya menjadi angin lalu lebur bersama semesta.
Mata Gina terus terpejam, lalu tangannya ia rentangkan membiarkan pori-pori tubuhnya menyerap semua dimensi rasa malam, sayup-sayup suara gemerisik angin berhembus pelan-pelan menjadi irama di telinganya, ia pun berdendang. Dalam bayangan kegelapan, tiba-tiba ada dua berkas cahaya putih datang dari cakrawala lalu kemudian menjelma menjadi dua malaikat bersayap mengajak Gina terbang ke angkasa.
Ada perasaan haru, kegat, kagum, dan sejuta rasa lainnya yang tak bisa ia mengerti. Namun anehnya Gina masih mampu melihat dirinya sendiri yang tetap berdiri merentangkan tangan di jendela kamarnya. Gina pun menatap kedua “malaikat” bercahaya yang tak tergambarkan dalam benaknya. Tapi lama-lama kedua malaikat itu pun berubah menjadi dirinya yang tersenyum pada dirinya, senyum yang manis, ringan dan begitu tulus. Lalu Gina pun merasa haru, perlahan-lahan ia pun tersenyum sembari menteskan air mata.
“Subhanallah……!!!” ucap Gina kemudian, kesadarannya kembali ketubuhnya yang alami. “Siapa Aku?” tanyanya kemudian, ia menemukan dirinya menjadi Gina yang berdiri di jendela, Gina yang terbang ke angkasa, dan Gina yang membawanya terbang. “Siapa Aku sebenarnya?” tanyanya lagi dalam kebingungan. “Allahu Akbar…” ucapnya kemudian.
Beberapa Saat kemudian Gina pun langsung menuju kamar mandi, dengan air mata yang terus mengalir. Malam itu ia pun langsung mengambil wuduk mensucikan lahir dan bathinnya. Air wuduk malam itu pun juga tak biasa, ia benar-benar merasakan bagaimana air yang ketika di basuh ke mukanya benar-benar menyerap masuk ke dalam tubuhnya, aliran dinginnya yang cukup segar tercercap oleh Gina masuk mengikuti aliran darah ke jantung hingga detaknnya pun terasa, ke hati hingga perasaan terdalamnyapun terdengar, bahkan air itu ia rasakan dalam setiap sendi tulangnya, urat-uratnya, saraf-sarafnya yang kemudian melebur menjadi cahaya yang menyinari wajahnya.
Lalu Gina kembali ke kamarnya ia mengenakan mukena putih pemberian istimewa ayahnya di ulang tahunnya yang ke 23 beberapa bulan yang lalu. Namun sesaat sebelum ia Takbiratul Ihram, ia mendapati bayangan dirinya dalam cermin di kamarnya. “Subhanallah…..!!” ucapnya lagi, ketika ia mendapati dirinya seakan-akan bercahaya, wajahnya menyilaukan seberkas sinar, demikian pula tubuhnya, sehingga mukena yang ia kenakan layakanya seperti lampu neon di malam hari, padahal ia tahu betul lampu dikamarnya sudah ia matikan semua. Tapi malam itu dengan cahaya di dalam tubuhnya semua benda-benda di kamarnya tampak terlihat terang dan nyata.
“Allahu…..Akbar…” ucap Gina kemudian memulai shalatnya malam itu, gema takbir itu juga berbeda, seperti tidak berasal dari mulut yang di dengar oleh telinganya. Tapi takbir itu seakan berasal dari seluruh struktur tubuhnya. Ketika mulutnya mengucap takbir, Tangan dan kakinya juga bertakbir dan mendengar takbir tersebut, demikian juga dengan kepalanya, rambutnya, perutnya, punggungnya, darahnya, jantungnya hatinya, dan tulang-tulangnya. Takbir itu benar-benar nyata dalam benaknya.
Gina lalu merasakan tubuhnya begitu lemas, begitu tak berdaya, lalu Ia pun larut dalam dirinya yang hina, yang hanya bisa mengharap belas kasih tuhannya. Bibirnya terbata-bata perlahan menggetarkan bacaan-bacaan shalatnya, setiap huruf, setiap kalimat, dan setiap gerak dalam shalatnya menyatu dalam dimensi dirinya.