Menarik ketika mencermati lebih jauh konflik yang tejadi baru-baru ini di Timur Tengah, tepatnya di negara Yaman. Pada tanggal 26 Maret 2015, Arab Saudi bersama dengan Mesir, Qatar, dan beberapa negara timur-tengah lainnya melakukan serangan udara ke wilayah Yaman. Serangan itu difokuskan ke tempat-tempat yang dikuasai oleh kelompok Houthis.
Banyak kalangan menilai, konflik ini adalah pertarungan antara Sunni dan Syiah. Sebab, Arab Saudi merupakan negara berpenduduk mayoritas Sunni, sementara kelompok Houthis dari kalangan Syiah. Sebagian lain ada yang mengatakan, serangan Saudi ke Yaman disebabkan karena permintaan langsung dari presiden Yaman (Abd Rabbuh Mansur Al-Hadi) untuk melindungi dirinya dari ancaman kelompok Houthis, jadi serangan yang dilakukan oleh Saudi dkk adalah langkah untuk melumpuhkan kekuatan Houthis di Yaman.
Jika kita (publik) melihat konflik ini kemudian merujuk kepada pemberitaan di media saja maka yang tergambar di benak kita tidak jauh dari dua hal itu tadi. Konflik ini akan terlihat sederhana, karena yang menyerang dan yang diserang jelas posisi dan dimananya. Tapi, jika kita mau melihat konflik ini sedikit lebih jauh, sebenarnya tidak sesederhana itu. Kenapa demikian? Karena konflik yang terjadi di Yaman sekarang, berhubungan erat dengan kepentingan negara-negara besar yang bermain dibelakangnya (Amerika dan Inggris).
Pertarungan Amerika dan Inggris
Kejadian di Yaman baru-baru ini tidak datang begitu saja dengan sendirinya, tapi ada faktor lain yang sebenarnya jauh lebih berpengaruh. Kalau melihat sedikit kebelakang, akan kita dapati siapa sebenarnya yang bermain di Yaman, Arab Saudi dkk atau Amerika-Inggris?.
Sebelum Arab Springs (musim semi arab) melanda kawasan timur tengah, Yaman sepenuhnya di bawah kontrol Inggris, karena rezim ketika itu (Ali Abdul Saleh) merupakan bentukan Inggris. Maka tidak heran, orang-orang yang duduk di pemerintahannya adalah loyalis-loyalis yang setia kepada Inggris. Dalam rentang waktu kepemimpinannya, Saleh tidak memberi ruang sedikitpun kepada Amerika untuk menanamkan pengaruhnya di Yaman. Ini disadari oleh Amerika langsung ataupun tidak.
Pada tahun 2011, Arab Spring melanda sebagian besar negara-negara di timur tengah, tak terkecuali Yaman. Saleh yang ketika itu sebagai penguasa berhasil digulingkan lewat jalan revolusi rakyat yang dimotori oleh kelompok Houthis. Publik mungkin tahu, dibelakang Houthis adalah Iran. Iran yang selama ini memasok senjata kepada kelompok ini untuk melawan kediktatoran penguasa. Sementara dibelakangnya Iran sendiri adalah Amerika. Maka dari sini point bisa kita ambil, kelompok Houthis secara langsung atau tidak berjalan atas kehendak Amerika.
Pasca lengsernya Saleh, pengaruh Inggris belumlah hilang, sebab penguasa Yaman setelahnya (Abd Rabbuh Mansur Al-Hadi) tetap loyal kepada Inggris. Ia tetap berperan sebagai agen Inggris tetapi tidak sekuat pendahulunya (Saleh). Alasan kenapa Amerika merestui Hadi sebagai pengganti Saleh sedang ia tahu kalau Hadi agennya Inggris, setidaknya ada dua alasan; 1) Amerika belum mampu menanamkan agen yang loyal kepadanya di Yaman, dan 2) Hadi dinilai lebih lemah dalam memimpin negara dan tidak sekuat Saleh.
Seiring berjalannya waktu (pasca Arab Spring) pengaruh Inggris di Yaman tetap berlanjut tapi tidak sekuat dahulu. Yang jadi masalah bagi Inggris, Amerika sudah mulai menanamkan pengaruhnya di Yaman melalui kelompok Houthis. Kelompok ini sengaja dimanfaatkan oleh Amerika untuk melemahkan pengaruh Inggris di Yaman sekaligus menjalankan kepentingan politiknya di sana.
Perlu kita sadari bahwa, Amerika dan Inggris walaupun keduanya menganut ideologi Kapitalisme tetapi sebenarnya mereka saling bertarung satu sama lain, dalam tanda kutip berebut untuk menanamkan dominasinya di negara-negara jajahan, termasuk Yaman. Hanya saja dalam kasus Yaman ada sedikit perbedaan cara dari kedua negara tadi. Inggris berjalan di Yaman atas kecerdasan politik dan agennya, sementara Amerika melalui kekuatan militer (gerakan bersenjata).
Dalam konteks Yaman, Inggris menyadari bahwa ia tidak lagi sekuat dulu dalam mendominasi Yaman. Sebab, dari segi kekuatan (militer) Inggris sudah mulai melemah. Maka dari itu ia sengaja menggunakan kecerdikan politik dan memanfaatkan tangan-tangan agennya (Saleh dan Hadi) untuk menghadapi tekanan-tekanan yang datang dari Amerika melalui kelompok Houthis.
Ini bisa kita saksikan, saat kelompok Houthis menuntut pembagian jatah kursi di pemerintahan. Langkah yang dilakukan Hadi ketika itu, menjanjikan posisi tertentu kepada Houthis tapi menunda-nunda pelaksanaannya, kemudian sengaja melupakanya. Ketika tuntutan kembali datang, Hadi kembali mengadakan pertemuan dan menjanjikan posisi-posisi baru yang diinginkan Houthis, tapi sekali lagi, Hadi kembali menunda-nunda realisasi dan melupakannya. Langkah ini terus dilakukan oleh Hadi berulang-ulang, terus berjanji dan menunda-nunda pelaksanaannya selama mungkin. Ini kemudian yang membuat Houthis berang.
Sementara Ali Abdullah Saleh, sengaja memainkan perannya ditengah-tengah kelompok Houthis, dengan cara, sengaja bergabung dengan kelompok tersebut. Saleh juga ikut ambil bagian dalam perkumpulan Houthis dan punya posisi penting disana serta ikut melakukan pemberontakan2 terhadap pemerintahan Hadi. Padahal misi utama Saleh sebenarnya adalah untuk menjalankan agenda yang dibuat Inggris. Setelah itu dilakukan, Saleh sengaja mempublikasikan/ membocorkan kedekatan dirinya dengan kelompok Houthis ke media. Akhrinya, sebagian besar masyarakat Yaman tahu kalau Saleh memiliki hubungan dengan Houthis.
Ketika tuntutan yang diinginkan Houthis tidak kunjung terlaksana, maka dimulailah upaya untuk melakukan kudeta terhadap pemerintahan Hadi. Tapi sebelum kudeta terjadi, Hadi sudah mengetahui hal tersebut lewat Saleh sendiri. Hadi kemudian sengaja mengundurkan diri dan lari ke Arab Saudi. Maka terjadilah kekosongan di pemerintahan Yaman. Sekali lagi kelompok Houthis terpukul, sebab satu sisi mereka tidak mendapatkan apa yang diinginkan (kekuasaan) sebagaimana janji Hadi, disisi lain mereka telah melakukan kerjasama dengan koruptor “Saleh”.
Jika ini terus berlanjut, maksudnya Houthis nekad mengambil alih pemerintahan pasca mundurnya Hadi, maka kelompok ini pasti akan dikecam dan bersiap berhadapan langsung dengan rakyat Yaman sendiri. Sebab, masyarakat sudah tahu bahwa Houthis memiliki hubungan dengan mantan penguasa Korup (Saleh) lewat bocoran yang dilakukan Saleh sendiri. Posisi ini kemudian menjadi buah simalakama bagi Houthis dan mereka tidak mendapatkan apapun dari kerja keras selama ini.
Dari sini bisa tergambar kecerdikan Inggris dalam memainkan irama politik di Yaman. Walaupun dari segi kekuatan (militer) Inggris sudah lemah dan tidak lagi mampu mendominasi Yaman tapi ia tetap bisa memanfaatkan pengaruhnya tersebut melalui agen-agennya. Hadi dan Saleh pun sukses menjalankan perannya secara sempurna.
Ketika kebuntuan terjadi di Yaman, dan Amerika gagal memanfaatkan kelompok Houthis. Amerika kembali kepada tradisi klasiknya, menggunakan kekuataan militer untuk mencapai tujuan politiknya. Untuk memuluskan agenda tersebut, digunakanlah tangan Arab Saudi untuk melakukan serangan ke Yaman.
Kita tahu, pasca wafatnya Raja Abdullah, Saudi dipimpin oleh Raja Salman. Raja Salman sendiri adalah agen Amerika. Kerjasama antara Saudi dan Amerika bisa kita lihat ketika Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengklarifikasi langsung pertanyaan media. Apakah dalam serangan ke Yaman, Amerika ikut serta di dalamnya? Kemudian ia menjawab “Amerika tidak ikut terlibat langsung dalam serangan tersebut, tapi tetap mengirimkan bantuan logistik dan inteligen”. Jika kita kaitkan antara serangan yang dilakukan dengan posisi raja Saudi sekarang dapat kita simpulkan, serangan ke Yaman sudah direncanakan sebelumnya dan atas perintah Amerika.
Walaupun Amerika tidak terjun langsung sebagaimana disebutkan tadi dan faktanya memang tidak, tapi dengan adanya bantuan logistik dan inteligen, ini merupakan gambaran jelas ada keterlibatan Amerika secara tidak langsung. Sementara opini yang dipakai, pertarungan Sunni-Syiah dan upaya Saudi menyelamatkan Hadi dari kelompok Houthis (Syiah), itu hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan politik dua negara tadi (Amerika-Inggris).
Seperti Apa Kedepannya?
Jika melihat pertarungan yang terjadi sekarang dengan posisi Amerika dan Inggris di Yaman beserta agen-agen yang terlibat dalam konflik ini, kita belum bisa menyimpulkan siapa yang akan menang dan siapa yang kalah. Sebab keduanya sama-sama memiliki pengaruh yang hampir sama ‘kuat’. Inggris pintar memainkan irama politik melalui tangan-tangan agennya, tapi kelemahannya, Inggris tidak bisa lagi mengimbangi Amerika secara militer. Sementara Amerika punya kekuatan militer (Houthis dan Arab Saudi), tapi Amerika belum memiliki agen yang benar-benar loyal kepadanya.
Yang bisa kita prediksi... Pertarungan kedua negara akan terus berlanjut sampai ada solusi jalan tengah (kompromi) diantara keduanya (Amerika-Inggris) dalam tanda kutip “tidak menghentikan pertarungan kedua negara”. Jalan kompromi hanyalah masa bagi-bagi kue di pemerintahan Yaman, ‘Amerika dapat sekian dan Inggris dapat sekian’. Dan jika diistilahkan, jalan kompromi hanyalah jeda waktu istirahat sejenak bagi kedua negara untuk menyiapkan amunisi. Setelah masing-masing merasa mampu untuk mengalahkan saingannya maka ketegangan dan pergolakan akan kembali terjadi, sampai benar-benar ada dominasi tunggal di Yaman. Amerika atau Inggris!?..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H